Pada bulan Mei 2008 temen saya, Asya, pulang dari Amerika Serikat. Dia kuliah di Kansas. Sekitar dua minggu dia melihat lagi keadan kota Jogja yang sudah beberapa tahun ditinggalkan.
Entah dari mana pengamatannya terhadap kota Jogja tercinta, Asya mengatakan, Â
"Ekspektasiku tentang kota Jogja berlebihan, An... kukira kota ini seperti dulu, yang ramah dan sederhana, tapi kini sudah berubah hanya dalam beberapa tahun...." Â Â Â Â Â Â Asya kemudian menceritakan bahwa di Amerika, orang benar-benar membeli barang kebutuhan sesuai kebutuhannya. Bahkan berhitung sebelum membeli. Sementara di Yogya, konsumerisme telah melanda hampir semua orang. Mereka berbelanja diluar kebutuhan utamanya.
Di tahun yang sama, Teman saya namanya Utari, mengatakan bahwa para pekerja asing yang pernah bekerjasama dengannya di NGO tempat dia bekerja, Â tidak sehebat orang Indonesia. Mereka menggunakan hand phone masih monochrome, ringtonenya masih polyphonic tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang sudah ber-ringtone MP3. Padahal biasanya kita punya ekspektasi kalau bule itu pasti lebih modern dan maju dan lebih canggih dibanding kita orang Asia. Harapan imajinasi kita adalah mereka lebih trendy. Ternyata mereka menggunakan alat seperlunya saja bukan fashion tetapi function.
Harapan atau ekspektasi tentu boleh saja. Tapi harapan tanpa logika dan terlalu berimajinasi ibarat berjalan tanpa arah. Jangan sampai kita memiliki ekspektasi berlebihan terhadap sesuatu. Agar tidak menyesal jika harapan itu meleset dari angan-angan kita.
Berhati-hati terhadap harapan.
Apa yang tampaknya baik belum tentu seperti itu kenyataannya. Apa yang tampak indah dipermukaan belum tentu sama dengan apa yang ada di kedalaman. Menjadi bijaksana, berhati-hati, eling lan waspada lebih baik daripada terlalu percaya diri dengan apa yang dilihat.
      Â
 Â
Selamat Berharap dengan Hikmat dan Bijaksana.
Jogja, medio 2010