Tentunya kegiatan export import kita menjadikan pelabuhan tanjung priok harus berhubungan dengan pelabuhan lain didunia sebagai tujuan export import kita. Kita semua sepakat bahwa Import terbesar kita dari Tiongkok, Tujuan Export buah-buahan kita adalah UEA, pada beberapa waktu lalu Pak Jokowi ketemu pengusaha supermarket di UEA yang memasarkan buah-buahan dari Indonesia yang minta supaya volume import buah dari Indonesia supaya ditambah.
Dalam 2 kasus export import tadi maka pelabuhan tanjung priok akan sering bersentuhan dan berhubungan dengan pelabuhan di UEA dan di Cina, bisa dibilang LDR-an kan ya mereka ini. Kemudian saya sebagai RJ Lino melihat bahwa operator pelabuhan di kedua negara itu adalah HPH, lalu bagaimana jadinya jika saya (Pelindo) yang jadi operator pelabuhan tanjung priok ya? –stop dari sini-
Saya akan mencoba membawa anda dalam skenario yang lain. Semua orang pacaran yang sedang LDR tentu sepakat bahwa operator telfon mereka harus sama, sama-sama telkomsel atau sama-sama axis kenapa? , anda semua pasti sudah lebih tau kenapa harus sama. Iya murah dan bisa dapet bonus berjam-jam enak lah pokoknya, tapi celakalah bagi pasangan LDR yang beda operator karena operator yang sama tidak mendapat sinya di tempatya. Kalo mau chating, bisa satunya pake line satunya pake whatsapp? Susah kan ya hehe.
-mulai lagi- dari sini sebagai dirut pelindo saya berfikir bisnis atau usaha export import bangsa Indonesia dari dan ke Cina atau UEA atau Eropa akan lebih mudah jika tanjung priok dipegang juga oleh operator yang sama di negara asal dan tujuan yaitu HPH. Kalo priok saya pegang sendiri kasihan nanti mereka bisa susah bisnisnya. Dengan samanya operator akan lebih mudah dalam cargo handling dan ini akan menyebabkan biaya export import jadi bisa lebih murah sama seperti analogi keuntungan sama-sama operator telpon tadi.
Dari pertimbangan itulah sebagai dirut pelindo yang memikirkan nasib tukang export import saya akan memperpanjang kontrak dengan JICT. Lalu mengapa tanjung perak, makkasar, dan pelabuhan lain di Indonesia dikelola pelindo sendiri dan tidak ada masalah, karena volume export import tanjung Priok luar biasa menggila dibanding pelabuhan yang lain di Indonesia.
Keempat, Untung Rugi. Dalam sebuah berita di Jawa Pos Online, Pak Fahmi sebagai peneliti pusat studi ekonomi kerakyatan UGM memaparkan bahwa nilai kontrak JICT menurun dari dulu banget yang awalnya USD 231 juta sekarang kok cuman USD 215 dan beliau juga memaparkan bahwa jika kontrak HPH tidak diperpanjang atau Priok dikelola sendiri oleh Pelindo II maka akan lebih untung sampai Rp 19 Triliun dari tahun ini sampai tahun 2039. Kalo dikelola HPH, Pelindo II untung Rp 20.85 triliun sedangkan kalo dikelola sendiri pelindo untung bisa sampai Rp 39.49 triliun.
Yuk mari kita diskusi mengenai hal ini, secara kasat mata dan sekilas kita bisa mengambil kesimpulan loh kok sudah tau rugi begini pak RJ Lino kok ngotot bangets sih masih mau sama JICT?. Saya tidak tau dari mana Pak Fahmi mendapatkan angka-angka itu tapi saya percaya sama beliau karena beliau lebih tahu hitung-hitungan bisnisnya. Dibagian keempat ini saya coba merasionalkan kenapa dengan kerugian atau potensi kerugian itu dirut pelindo II masih ingin bersama JICT. Dari nilai kontrak yang menurun dari USD 231 juta menjadi USD 215 kok masih mau sih PAK!!!!?
Kalo saya jadi Pak RJ Lino saya akan menjawab kurang lebih begini, Dik adam nilai USD 231 juta itu dulu waktu mereka yang butuh kita pengen mengelola via tender bebas dan mereka itu pintar melebarkan sayap kemana-mana menancapkan kaki dimana-mana gak cuman di Jakarta saja, lalu sekarang saat kita butuh dan kecanduan jasa NETWORK mereka nilai USD 215 juta itu sudah untung banyak, selisih USD 16 juta itu anggap aja kita beli jaringan ke HPH, ya kita beli jaringan dik, ya hampir sama kayak kita beli jaringan internet bayar tiap bulan.
Nah, perkara untung rugi pertahun dik, bisa saja memang pelindo II bisa untung sampe Rp 39.49 triliun sendiri tapi apalah artinya nilai itu kalo pengusaha export import kena biaya tambahan akibat hal-hal nonteknis seperti cargo handling dll akibat beda operator dan pada akhirnya konsumen juga kecipratan biaya tambahan itu. Apalah kita ini BUMN yang harus melayani rakyat dan dituntut untung sebesar-besarnya oleh DPR dan pengamat, kalo gak untung sedikit berarti berpotensi merugikan negara dan harus diusut KPK, apalah kami ini dik. Hmm gitu ya Pak #mikirkeras.
Jadi kesimpulan yang bisa saya berikan adalah pertimbangan utama dalam memilih HPH adalah karena dia memiliki network pelabuhan yang sangat luas di dunia. Apa jadinya priok sebagai pintu export import Indonesia tidak masuk dalam jaringan internasional? Itu sama saja seperti kita saat tidak dapat sinyal tidak dapat masuk kejaringan operator telpon ataupun internet ya seperti mati gaya mati kutu dan mati bosan hehehe. Coba kita fikir lagi kenapa negara yang punya pelabuhan sebesar port of Amsterdam belanda dan pelabuhan paling canggi se Asia yaitu Bussan Internasional Port di korea operatornya adalah HPH, apakah karena belanda dan korea tidak mampu mengelola pelabuhan sendiri?
Tentu tidak, mereka sangat berkompeten hanya saja mereka paham bahwa jaringan atau network adalah yang menghidupkan pelabuhan itu karena sejatinya pelabuhan adalah simpul penghubung dan tidak bisa berdiri sendiri apa jadinya penghubung tanpa ada yang dihubungkan? Ya mati. Dengan fakta itu Ibu Rieke masih bertanya apakah negara kita tidak mampu mengelola pelabuhan sendiri?