Mohon tunggu...
Politik

Stigma Dunia Kedokteran

17 November 2017   13:40 Diperbarui: 17 November 2017   13:41 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seakan Hak Asasi Manusia tidak pernah didengar, dipelajari dan diwujudkan dalam kehidupannya. Dalam kasus ini, tidak hanya pelaku yang harus di "blame". Ada beberapa alasan.

Pertama, kode etik kedokteran kurang begitu diperhatikan. Pelanggaran terhadap kode etik kedokteran harus ditindak tegas. Alangkah lebih baiknya apabila kebijakan hukum di Indonesia juga memberikan sanksi tersendiri bagi para pelanggar kode etik kedokteran bagi para dokter tentunya.

Hal ini penting? Ya, sangat penting. Agar stigma tentang dokter tidak hancur dengan stigma yang buruk. Agar siapapun yang ingin menjadi dokter tidak berperilaku BODOH dan bermain-main/menyepelekan hukum yang masih berjalan di negeri kita ini. Janji yang sejak awal disebutkan dalam kode etik kedokteran benar-benar harus sinkron dengan langkah mereka selanjutnya, dan apabila mengalami "kemiringan" secara sengaja, harus ditindak dengan sanksi yang berat.

Akibat perbuatan sadis Dokter Helmi, kini ia ditahan di Mapolda Metro Jaya dan dijerat dengan pasal berlapis. Dia dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, dan Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api tanpa izin. Dia terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Namun, keluarga korban masih tidak setuju dan mengatakan bahwa hukum yang dijatuhkan untuknya tidak sepadan dengan perlakuan pelaku selama ini ketika menjadi dokter dan suami Dokter Letty.

Kedua, berdasarkan fakta, Dokter Letty telah memberikan informasi kepada Polres saat bulan Juni yang lalu. Tetapi dalam proses, Dokter Letty mencabut laporannya pada bulan September. Ini artinya, kasus yang dilaporkan Dokter Letty masih belum terpecahkan bahkan sampai bulan September. Hal ini menandakan kualitas pemrosesan kasus pelanggaran HAM yang tergolong buruk. Sehingga pelaku masih berkeliaran dan merasa bebas untuk melakukan tindak pelanggaran HAM.

Sebagai warga Negara Indonesia yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, lebih baik kita menjalani kehidupan sesuai dengan norma yang berlaku. Dan semoga "alat-alat" pemerintah dapat memperbaiki "alat" nya yang rusak agar dapat menjalankan lalu lintas politik Negara Indonesia sehingga Indonesia menjadi Negara yang lebih maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun