Mohon tunggu...
Politik

Stigma Dunia Kedokteran

17 November 2017   13:40 Diperbarui: 17 November 2017   13:41 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berapa kali bumi telah berputar? Berapa lama bumi telah berevolusi?

Seberapa pesat kah manusia melakukan perubahan? Seberapa cepat manusia menguasai bumi dengan "otak" mereka seiring bertambahnya jumlah perputaran bumi.

Revolusi bumi menandakan adanya perubahan semua sel penyusun bumi. Dan perubahan yang terwujud, bukan hanya perubahan yang baik. Revolusi bumi telah menyebabkan sel penyusun bumi yang utama mengalami kerusakan, tak lain tak bukan adalah manusia.

Manusia semakin semena-mena akan adanya perkembangan teknologi. Hati, otak, dan perilaku tidak sinkron. Dengan jabatan dan pekerjaan, manusia saling meremehkan satu sama lain. Dengan perbedaan pendapat, manusia membunuh satu sama lain, tanpa terkecuali orang yang se dekat nadi dengan dirinya sendiri.

Apa yang ada dipikiran anda bila mendengar sebuah kata:

DOKTER

Spontan terlintas di benak anda apakah mungkin orang yang berjasa menyembuhkan sejuta umat manusia di meja bedah dengan jubah hijaunya? Orang yang memiliki panggilan yang mulia untuk rela berkorban waktu, tenaga, juga kesehatan bagi pasiennya? Orang yang memiliki hati nurani dan tindakan yang luar biasa baik dan sejalan dengan profesinya sekarang ini? Orang yang bekerja mengabdikan hidupnya sampai titik darah penghabisan demi darah yang mengalir pada nadi manusia?

Semua pemikiran spontan tersebut merupakan stigma yang telah melekat dalam otak masyarakat dunia.

Sekarang cobalah ketik di mesin search google, "dokter melakukan pembunuhan".

HIGHLIGHTS 9 November 2017: Dokter Helmi tembak mati Dokter Letty, Istrinya sendiri. Motif: Istri ingin cerai karena perlakuan buruk Dokter Helmi (KDRT) dan belum dikaruniai anak setelah menikah 5 tahun . TKP: Azzahra Medical Centre, tempat kerja Dokter Letty.

Helmi, seorang dokter masih bisa melakukan pembunuhan, bahkan diketauhi dia melakukan pemerkosaan sampai diberhentikan dari pekerjaannya di suatu klinik. Saat usia pernikahan masih sebiji jagung, Helmi masih bersikap baik pada istrinya. Namun setelah usia pernikahan sudah sebesar buah kelapa, keluarlah sikap aslinya.

Seakan Hak Asasi Manusia tidak pernah didengar, dipelajari dan diwujudkan dalam kehidupannya. Dalam kasus ini, tidak hanya pelaku yang harus di "blame". Ada beberapa alasan.

Pertama, kode etik kedokteran kurang begitu diperhatikan. Pelanggaran terhadap kode etik kedokteran harus ditindak tegas. Alangkah lebih baiknya apabila kebijakan hukum di Indonesia juga memberikan sanksi tersendiri bagi para pelanggar kode etik kedokteran bagi para dokter tentunya.

Hal ini penting? Ya, sangat penting. Agar stigma tentang dokter tidak hancur dengan stigma yang buruk. Agar siapapun yang ingin menjadi dokter tidak berperilaku BODOH dan bermain-main/menyepelekan hukum yang masih berjalan di negeri kita ini. Janji yang sejak awal disebutkan dalam kode etik kedokteran benar-benar harus sinkron dengan langkah mereka selanjutnya, dan apabila mengalami "kemiringan" secara sengaja, harus ditindak dengan sanksi yang berat.

Akibat perbuatan sadis Dokter Helmi, kini ia ditahan di Mapolda Metro Jaya dan dijerat dengan pasal berlapis. Dia dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, dan Undang-undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata api tanpa izin. Dia terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Namun, keluarga korban masih tidak setuju dan mengatakan bahwa hukum yang dijatuhkan untuknya tidak sepadan dengan perlakuan pelaku selama ini ketika menjadi dokter dan suami Dokter Letty.

Kedua, berdasarkan fakta, Dokter Letty telah memberikan informasi kepada Polres saat bulan Juni yang lalu. Tetapi dalam proses, Dokter Letty mencabut laporannya pada bulan September. Ini artinya, kasus yang dilaporkan Dokter Letty masih belum terpecahkan bahkan sampai bulan September. Hal ini menandakan kualitas pemrosesan kasus pelanggaran HAM yang tergolong buruk. Sehingga pelaku masih berkeliaran dan merasa bebas untuk melakukan tindak pelanggaran HAM.

Sebagai warga Negara Indonesia yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, lebih baik kita menjalani kehidupan sesuai dengan norma yang berlaku. Dan semoga "alat-alat" pemerintah dapat memperbaiki "alat" nya yang rusak agar dapat menjalankan lalu lintas politik Negara Indonesia sehingga Indonesia menjadi Negara yang lebih maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun