“Arka, bantu Ibu sebentar di dapur!”
Suara tersebut menggema di beberapa sudut. Aroma kari ayam memenuhi ruang makan, bercampur dengan suara panci yang sedang diaduk. Namun, langkah kaki Arka tak kunjung datang.
“Arka?”
Belvina mematikan kompor dan meletakkan sendok sayur ke meja. Kemudian ia melangkah ke ruang tamu. Di sana, Arka duduk bersandar di sofa tua, tatapannya kosong tertuju ke layar televisi yang tak menyala.
“Arka, kamu dengar Ibu, kan?”
Ia tidak menjawab, hanya menundukkan kepala.
“Kamu kenapa?”
Arka mengangkat wajah. Terlihat matanya merah seperti habis menangis.
“Ayah lagi marah sama aku.” ucap Arka pelan, seperti enggan berbicara.
Belvina menatap anaknya dalam-dalam. Tubuh Arka kecil untuk anak yang usianya hampir 13 tahun. Namun, di balik hal tersebut, Belvina tahu Arka menyimpan sesuatu yang besar.
“Kenapa Ayah marah?”
Arka terdiam lagi, kali ini lebih lama.
***
Langit sore berwarna kemerahan saat Kenzie Vikrama berjalan menuju rumah. Kemejanya basah oleh keringat, sepatu kerjanya penuh debu. Ia baru saja selesai memberikan pelatihan kepada para petani muda, ia melakukannya hampir setiap minggu.
Sesampainya di rumah, Kenzie mendapati Arka sedang bermain bola plastik di halaman. Bola itu memantul ke dinding, meninggalkan noda bekas lumpur.
“Arka, masuk ke dalam sekarang. Kita perlu bicara.”
Arka pun berhenti, ia mengangguk tanpa menatap ayahnya dan masuk ke rumah dengan langkah kecil.
Di ruang tamu, Kenzie duduk di kursi kayu dengan kerutan yang lebih dalam di dahinya. Arka duduk di depannya, diam seperti batu.
“Ayah dengar dari Pak Johan, kamu tidak ikut latihan bola minggu lalu?”
“Arka tidak suka latihannya, yah. Pelatihnya sering marah-marah.”
“Bukan soal suka atau tidak suka, Arka. Kamu tahu, Ayah bekerja keras supaya kamu bisa ikut latihan.”
Arka menggigit bibir. Di kepalanya, terdapat perdebatan antara keinginan untuk membela diri atau menahannya karena takut membuat ayahnya kecewa. Hingga akhirnya, ia memilih untuk diam.
***
Lima tahun yang lalu, Belvina mendapat kabar dari dokter bahwa Arka akan mempunyai seorang adik. Pada saat itu, dunia terasa penuh harapan.
“Kenzie, aku punya kabar baik.”
Belvina ingat bagaimana senyum suaminya yang seperti mentari pagi itu. Sejak saat itu, hati Kenzie, dan Arka berbunga-bunga, walaupun realita kehidupan mereka saat itu masih terbatas.
Namun, takdir berkata lain. Anak tersebut bertahan hanya dalam tiga bulan saja dan meninggalkan luka yang mendalam. Kenzie semakin sibuk, seakan mencari pelarian dari rasa kehilangan.
***
“Aku cuma mau main bola buat bersenang-senang! Bukan buat jadi pemain yang hebat!”
Di ruang tamu yang penuh dengan rak buku, kalimat tersebut seperti duri di hati ayahnya.
“Kalau begitu, untuk apa Ayah kerja siang malam, Arka? Semua ini buat kamu! Ayah cuma ingin kamu punya pilihan.”
“Tapi Ayah tidak pernah menanyakan mau aku apa!”
Ruangan tersebut mendadak sunyi. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar di sudut ruangan. Belvina mengintip dari balik tirai dapur, dengan mata yang berkaca-kaca. Kenzie menghela napas panjang dan bangkit berdiri. Langkahnya berat menuju kamar.
***
Satu tahun yang lalu, Kenzie memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya yang ada di kota dan memutuskan untuk kembali ke desa.
“Kenzie, kamu yakin? Anak-anak di sini kan butuh kamu juga,” ujar seorang rekan kerjanya, Pak Rendi.
“Hidup bukan cuma soal mengejar uang, Arka dan Belvina lebih membutuhkanku. Lalu, aku juga ingin Arka tumbuh dengan kasih sayang ayahnya.”
***
“Ayah terlalu keras, Bu.” Kalimat itu terucap lirih dari mulut Arka.
“Arka, Ayahmu cuma ingin yang terbaik buat kamu.”
“Tapi kenapa harus selalu seperti yang Ayah mau? Aku juga punya mimpi, Bu.”
Belvina terdiam. Ia tahu Kenzie punya alasan atas segala tuntutannya, tetapi ia juga tahu Arka sedang mencari jalan untuk menjadi dirinya sendiri.
***
Pagi itu, kabut tebal menyelimuti desa. Belvina terbangun lebih awal, tetapi Kenzie sudah tidak ada di tempat tidur.
Di luar, ia menemukan Kenzie duduk di bangku depan rumah, mengenakan sweater abu-abu yang mulai pudar warnanya.
“Kenzie, kamu tidak tidur semalam?”
“Aku sedang berpikir, apa aku terlalu memaksa Arka?”
“Kenzie, kamu hanya ingin dia hidup lebih baik. Itu bukan kesalahan.”
“Tapi kalau caraku justru membuat dia tertekan, lalu apa gunanya?”
***
Waktu-pun berlalu, Kenzie berusaha mencoba untuk lebih mendengarkan Arka. Ia mulai memberi ruang bagi anaknya untuk menentukan jalan yang dipilih sendiri.
Malam itu, Kenzie mengendarai motor tuanya di jalan gelap selepas pelatihan di balai desa. Lampu redup dari tiang listrik menjadi satu-satunya penerang.
“Pak Kenzie!”
Kenzie menoleh. Raka, salah satu peserta pelatihan, melambai di tepi jalan.
“Terima kasih, Pak. Berkat latihan hari ini, saya jadi paham tentang banyak hal. Tanpa Bapak, kami mungkin masih bingung.”
“Kalianlah yang hebat. Lakukan yang terbaik.” ucap Kenzie dengan tersenyum.
Setelah itu, Kenzie melanjutkan perjalanan. Namun, tak lama, cahaya lampu motornya menangkap sebuah truk besar melaju cepat dari depan.
Kenzie menarik rem, tapi truk terlalu dekat. Dalam sekejap, benturan keras menggema.
“BRUUAKK!”
Belvina yang menerima kabar tersebut dari tetangga yang kebetulan melintas di tempat kejadian langsung terjatuh dan tak mampu berkata apapun.
***
Di pemakaman, Arka berdiri dengan kepala tertunduk dengan kedua tangan yang menggenggam bola.
“Ayah, aku akan tetap main bola. Aku akan belajar sungguh-sungguh, agar Ayah bangga disana.”
Belvina yang pada saat itu berdiri di samping Arka menahan tangisan yan
g tak bisa dibendung. Ia memeluk Arka dengan erat dan merasakan tubuhnya tersebut bergetar seperti sedang menahan tangisannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H