Mohon tunggu...
Elin D Sulistyowati
Elin D Sulistyowati Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya seorang wanita yang suka membaca dan menulis

Orang biasa yang ingin bisa http://www.elinds.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keberagaman Menjadikan Madiun Lebih Berwarna

22 September 2018   22:07 Diperbarui: 22 September 2018   22:13 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : sultra.antaranews.com

Wilayah Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke terdiri dari berbagai suku, budaya, bahasa dan agama. Di mana setiap daerah memiliki adat-istiadat serta  aturan sendiri-sendiri. 

Untuk menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut maka lahirlah Pancasila. Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda namun tetap satu. Ini berarti bahwa Indonesia bukan hanya milik satu golongan saja, melainkan banyak golongan. Untuk itu setiap warga negara hendaknya menyadari hal tersebut. Sehingga persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga.

Selain itu masyarakat Indonesia juga terkenal memiliki budaya timur baik dalam berpakaian, berbicara maupun bersikap sehari-hari. Seperti beramah-tamah dengan orang lain, terlebih kepada orang yang lebih tua meskipun orang tersebut tidak kita kenal. Saling tolong menolong dengan orang lain. Mempunyai rasa toleransi yang tinggi antar sesama umat. Serta sifat-sifat lain yang mencerminkan budaya timur.

Namun belakangan ini, seiring perkembangan tehnologi budaya timur masyarakat Indonesia seolah kian memudar. Saat ini semakin banyak orang mengaku dirinya paling suci dan mencap orang lain kafir ataupun tidak beragama hanya masalah yang sepele. Padahal sifat tersebut sangat jauh dari baik. Bahkan bisa memicu kericuhan antar umat beragama.

Namun, apakah budaya timur dan toleransi masyarakat Indonesia benar-benar sudah memudar? Ataukah hal ini hanya terjadi di dunia maya? Lalu bagaimana sebenarnya toleransi masyarakat kita dalam kehidupan nyata?

Kebetulan saya tinggal di desa yang sudah cukup maju baik dari ekonomi maupun sosial budayanya. Seperti kehidupan desa pada umumnya, kami  masih mempunyai rasa toleransi dan tolong-menolong yang cukup tinggi. Misalnya ada seorang tetangga yang meninggal dunia, tanpa perlu diminta para tetangga sudah berdatangan untuk membantu mengurus jenazah, mulai dari peralatan yang dibutuhkan sampai mengantar ke perkuburan. Hal ini semua dilakukan tanpa dibayar.

Memang di desa saya, tidak ada yang memeluk agama lain. Tetapi ada beberapa warga yang mengikuti aliran tertentu. Apakah warga yang lain merasa terganggu?  Kemudian mengisolasi mereka dari kegiatan masyarakat. 

Alhamdulillah, hal itu tidak terjadi. Kami tetap bisa duduk berdampingan dalam berbagai acara. Saling membantu jika ada kesulitan. Perbedaan aliran bagi kami bukan penghalang untuk tetap saling berinteraksi sosial. Karena kita diciptakan sebagai mahluk sosial, yang tidak bisa hidup seorang diri saja.

Dahulu semasa masih sekolah di SMP dan SMU, saya juga mempunyai beberapa teman non muslim. Namun, tidak ada perlakuan berbeda dari pihak sekolah maupun teman-teman lain terhadap mereka.

Kami berinteraksi seperti biasa baik di dalam maupun di luar kelas. Bahkan dahulu salah satu dari mereka memiliki prestasi di bidang olah raga, maka seluruh sekolah turut mendukungnya saat mengikuti perlombaan.

Lalu bagaimana Toleransi di kota Madiun? Apakah sama dengan tempat saya?

Kehidupan di kota Madiun pun tidak jauh berbeda dengan kehidupan desanya. Rasa toleransi masyarakatnya masih cukup tinggi. Saya sering mengalaminya sendiri, misalnya saat tidak tahu tempat yang akan saya tuju, saya memilih bertanya kepada orang daripada mencari di GPS. Dan, alhamdulillah selalu mendapatkan jawaban yang baik.

Rasa toleransi  di kota ini pun bisa terlihat dari beberapa tempat ibadah yang berdiri berdekatan. Di Jalan Pahlawan berdiri Gereja, di seberang jalan ada masjid besar milik Pemkot, masih di jalan yang sama berdiri juga Klenteng tempat ibadah warga Tionghoa. Tak jauh dari gereja tadi juga ada Masjid Agung. Bangunan ini semua sudah ada sejak puluhan tahun, dan tidak pernah terjadi masalah. Jika ada perayaan di salah satu tempat ibadah, warga sekitar tidak pernah mempermasalahkan. Seperti saat Idulfitri seperti ini, warga yang beragama lain tetap beraktivitas seperti biasa. Begitu pula saat di Klenteng ada acara Imlek, warga sekitar juga turut antusias menyaksikan aktraksi Barongsai.

Pemerintahan kota Madiun sendiri juga melakukan kegiatan-kegiatan untuk menjaga toleransi antar warga. Misalnya melibatkan anggota persilatan(Madiun terkenal dengan kampung pesilat) dalam pengamanan acara keagamaan maupun event-event besar lainnya. Sehingga keberagaman di Madiun tetap terjaga bahkan terlihat harmonis karena adanya toleransi dari berbagai pihak.

Dengan banyaknya kenyataan-kenyataan tersebut di atas ternyata budaya timur masyarakat Indonesia masih ada. Meski mungkin sudah berkurang. Sebagai bangsa yang besar. Kita sebagai warga negara yang baik hendaknya tetap menjaga budaya timur yang kita miliki supaya persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga. Perbedaan ada untuk melengkapi keberagaman bukan sebagai penyebab kericuhan.

#anggota PPI(Persatuan Penulis Indonesia)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun