Kehidupan di kota Madiun pun tidak jauh berbeda dengan kehidupan desanya. Rasa toleransi masyarakatnya masih cukup tinggi. Saya sering mengalaminya sendiri, misalnya saat tidak tahu tempat yang akan saya tuju, saya memilih bertanya kepada orang daripada mencari di GPS. Dan, alhamdulillah selalu mendapatkan jawaban yang baik.
Rasa toleransi  di kota ini pun bisa terlihat dari beberapa tempat ibadah yang berdiri berdekatan. Di Jalan Pahlawan berdiri Gereja, di seberang jalan ada masjid besar milik Pemkot, masih di jalan yang sama berdiri juga Klenteng tempat ibadah warga Tionghoa. Tak jauh dari gereja tadi juga ada Masjid Agung. Bangunan ini semua sudah ada sejak puluhan tahun, dan tidak pernah terjadi masalah. Jika ada perayaan di salah satu tempat ibadah, warga sekitar tidak pernah mempermasalahkan. Seperti saat Idulfitri seperti ini, warga yang beragama lain tetap beraktivitas seperti biasa. Begitu pula saat di Klenteng ada acara Imlek, warga sekitar juga turut antusias menyaksikan aktraksi Barongsai.
Pemerintahan kota Madiun sendiri juga melakukan kegiatan-kegiatan untuk menjaga toleransi antar warga. Misalnya melibatkan anggota persilatan(Madiun terkenal dengan kampung pesilat) dalam pengamanan acara keagamaan maupun event-event besar lainnya. Sehingga keberagaman di Madiun tetap terjaga bahkan terlihat harmonis karena adanya toleransi dari berbagai pihak.
Dengan banyaknya kenyataan-kenyataan tersebut di atas ternyata budaya timur masyarakat Indonesia masih ada. Meski mungkin sudah berkurang. Sebagai bangsa yang besar. Kita sebagai warga negara yang baik hendaknya tetap menjaga budaya timur yang kita miliki supaya persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga. Perbedaan ada untuk melengkapi keberagaman bukan sebagai penyebab kericuhan.
#anggota PPI(Persatuan Penulis Indonesia)