Percayalah, sebelumnya di sini langit mendungÂ
Gerak awan tak mengizinkan jingga untuk terkandungÂ
Dengan patahnya layar-layar limbungÂ
Nampak raut nelayan yang semakin bingungÂ
Anaknya harus sekolah lalu menjadi manusiaÂ
Manusia serupa Ilahi yang tak sempurnaÂ
Pemikul beban dosa dari Adam dan HawaÂ
Pendosa yang menghayal surgaÂ
Tapi Tuhan tidak bekerja di kantorÂ
Tuhan tidak menjadi Bupati
Tuhan bukan tuanÂ
Tuhan bukan jabatan, ibuÂ
Tuhan ada dimana-mana, ibu
 Untuk apa kau menjadi Tuhan?Â
Itu tak perluÂ
Kau harus menjadi manusia, seutuhnya manusiaÂ
Berguna adalah makna dan di bumi haruslah menderitaÂ
Jikalau harus bernasib buruk adalah pasrahÂ
Maka, Ibu, aku ingin menyaksikan alam sekali lagi yang tanpa murka, meluka, dan duka,Â
Ibu, aku ingin menangis sekali lagi ketika merasakan hangat peluk pertamaÂ
Ibu, andai aku bisa memilih sungguh, aku ingin menetap saja pada rahim kudusmuÂ
Sebelumnya kita merayap, merangkak, lalu bebas bergerak-gerakÂ
Ke mana saja kita ingini, mari pergiÂ
Setiap kita mempunyai kakiÂ
Setiap kita yang perempuan atau laki-lakiÂ
Kita yang terlahir dari rahim-rahim senja hari iniÂ
Menjadi guna apa untuk ribu-juta butir pasir yang tak terhinggaÂ
Hingga tiba saatnya:Â
dimana rapuh dan tak lagi tersentuhÂ
dimana rupa tak lagi bertemuÂ
dimana tua kian melupaÂ
dimana apa tak lagi bermaknaÂ
Hingga tiba saatnya, dalam langkah-langkah menuju pintu bergerbang indah hanya sebagian air mata memberi salam terakhirÂ
Hingga tiba saatnya, dari bianglala tak lagi berwarnaÂ
Hingga tiba saatnya ada jawaban dari beribu-juta tanya.
Langgur, 10 AgustusÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI