Kesehatan mental merupakan kondisi dimana individu memiliki kesejahteraan yang tampak dari dirinya yang mampu menyadari potensinya sendiri, memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Mengutip dari jargon yang digunakan oleh WHO, "there is no health without mental health" menandakan bahwa kesehatan mental perlu dipandang sebagai sesuatu yang penting sama seperti kesehatan fisik.Â
Mengenali bahwa kesehatan merupakan kondisi yang seimbang antara diri sendiri, orang lain dan lingkungan membantu masyarakat dan individu memahami bagaimana menjaga dan meningkatkannya (WHO, 2004). Kesehatan mental menurut Dias (2006), yakni sangat dipengaruhi oleh budaya dimana seseorang individu tersebut tinggal seperti lingkungan, pergaulan, dan keluarga. Sesuatu hal yang boleh dilakukan dalam suatu budaya tertentu biasanya menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain begitu pula sebaliknya.Â
Sedangkan menurut piepper dan uden (2006) Kesehatan mental yaitu suatu keadaan dimana seorang individu tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri, serta memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima kekurangan atau kelemahannya sendiri, memiliki kemampuan menghadapi masalah-masalah yang ada dalam hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki kebahagiaan dalam hidup (Rachmadyanshah & Khairunisa, 2019).Â
Setiap individu memiliki batasan kemampuan tersendiri dalam menghadapi suatu masalah karena pola pemikirannya saja sudah berbeda dari indvidu satu dengan yang lain (Nurhayati, 2016), begitu juga remaja yang mana pola pikirnya masih sedang dibentuk dan belum benar-benar matang dalam menghadapi suatu masalah. Maka dari itu sangatlah penting memberikan edukasi mengenai kesehatan mental kepada remaja setidaknya ketika disekolah para guru-guru memberikan edukasi mendasar mengenai bagaimana menjaga kesehatan mental diusia remaja.
Kesehatan mental merupakan sebuah kondisi dimana individu terbebas dari segala bentuk gejala-gejala gangguan mental. Sayangnya, prevalensi masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan pikiran tentang bunuh diri, semakin meningkat di kalangan mahasiswa Individu yang sehat secara mental dapat berfungsi secara normal dalam menjalankan hidupnya khususnya saat menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang akan ditemui sepanjang hidup seseorang dengan menggunakan kemampuan pengolahan stres.Â
Kesehatan mental merupakan hal penting yang harus diperhatikan selayaknya kesehatan fisik. Diketahui bahwa kondisi kestabilan kesehatan mental dan fisik saling mempengaruhi. Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah keluhan yang hanya diperoleh dari garis keturunan.Â
Tuntutan hidup yang berdampak pada stress berlebih akan berdampak pada gangguan kesehatan mental yang lebih buruk. Kesehatan mental yang baik untuk individu merupakan kondisi dimana individu terbebas dari segala jenis gangguan jiwa, dan kondisi dimana individu dapat berfungsi secara normal dalam menjalankan hidupnya khususnya dalam menyesuaikan diri untuk menghadapi masalah-masalah yang mungkin ditemui sepanjang hidupnya.
Menurut WHO, kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya. Gangguan kesehatan mental merupakan kondisi dimana seorang individu mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya dengan kondisi di sekitarnya. Ketidakmampuan dalam memecahkan sebuah masalah sehingga menimbulkan stres yang berlebih menjadikan kesehatan mental individu tersebut menjadi lebih rentan dan akhirnya dinyatakan terkena sebuah gangguan kesehatan mental.
Mahasiswa adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seseorang yang sedang menjalani pendidikan di sebuah institusi pendidikan tinggi, seperti universitas atau perguruan tinggi. Istilah ini umumnya mengacu pada individu yang sedang mengejar gelar sarjana atau lebih tinggi, seperti gelar magister atau doktor.Â
Mahasiswa terlibat dalam berbagai aktivitas akademik, seperti menghadiri kuliah, mengikuti seminar, melakukan penelitian, dan menyelesaikan tugas-tugas akademik untuk mencapai tujuan pendidikannya. Menurut Knopfemacher (dalam Suwono, 1978) mahasiswa adalah merupakan insan-insan calon sarjana yang dalam keterlibatannya dengan perguruan tinggi (yang makin menyatu dengan masyarakat), dididik dan di harapkan menjadi calon-calon intelektual.
Bunuh diri adalah usaha tindakan atau pikiran yang bertujuan untuk mengakhiri hidup yang dilakukan dengan sengaja, mulai dari pikiran pasif tentang bunuh diri sampai akhirnya benar-benar melakukan tindakan yang mematikan. Keparahan tingkat bunuh diri bervariasi, mulai dari ide bunuh diri, ancaman bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan melakukan bunuh diri (completed suicide). Ide bunuh diri yaitu pemikiran untuk membunuh diri sendiri; membuat rencana kapan, dimana, dan bagaimana bunuh diri akan dilakukan; dan pemikiran tentang efek bunuh dirinya terhadap orang lain.Â
Ancaman bunuh diri merupakan ungkapan yang ditujukan kepada orang lain yang mengindikasikan keinginan untuk melakukan bunuh diri. Sedangkan percobaan bunuh diri/parasuicide didefinisikan sebagai semua tindakan melukai diri sendiri dengan hasil yang tidak fatal dengan tujuan untuk mencari perhatian, dan keinginan untuk menjadikan bunuh diri sebagai penyebab kematian yang tercantum pada sertifikat kematian atas dirinya (Rathus dan Miller, 2002; Pelkonen dan Marttunen, 2003; Orden et al., 2011).Â
National Centre for Health Statistic (NCHS) tahun 2000 mengungkapkan data angka bunuh diri di AS dari segi usia, pada usia 10-14 tahun adalah 1,6/100.000, sedangkan usia 15-19 tahun 9,5/100.000. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki 3 kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan anak perempuan, namun seiring bertambah usia ratio semakin bertambah menjadi 4,5 : 1 pada usia 15-19 tahun. Percobaan bunuh diri pada remaja 2 kali lipat lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki.Â
Sedangkan ide bunuh diri sering dijumpai pada pelajar SMA, kira-kira 1 dari 4 perempuan, dan 1 dari 6 laki-laki (AACAP, 2001; Cash dan Bridge, 2009). Metode bunuh diri pada remaja yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan senjata api. Pada percobaan bunuh diri, metode yang paling sering digunakan adalah menelan analgetik, selain itu metode lain yang sering digunakan adalah mengiris permukaan pergelangan tangan atau leher (AACAP, 2001; Gould dan Kramer, 2001; Shain dan Care, 2007; Cash dan Bridge, 2009).
Gangguan psikiatri yang sering menjadi faktor resiko bunuh diri pada anak dan remaja adalah gangguan suasana perasaan (depresi dan bipolar), skizofrenia, penyalahgunaan zat, gangguan tingkah laku, dan gangguan makan (Apter dan Freudstein, 2000 dalam Gould dan Kramer, 2001 dalam Shain dan Care, 2007). Faktor resiko lain yang juga bisa memunculkan perilaku bunuh diri yaitu adanya kejadian yang menimbulkan stres, masalah hubungan anak dan orangtua, perceraian orangtua, riwayat keluarga, dan penyakit kronis (Shafii et al., 1985; Gould et al., 1996; Pfeffer, 2000; Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh dan Kosky, 2005; Gray dan Dihigo, 2015).
Keputusasaan serta kemampuan meyelesaikan masalah yang buruk juga dihubungkan dengan perilaku bunuh diri. Perilaku bunuh diri dijumpai diantara pasien dengan range IQ retardasi mental sedang atau di atasnya dan lebih sering dijumpai pada remaja dibandingkan anak-anak (Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh dan Kosky, 2005).
Banyak mahasiswa merasa cemas atau stres selama masa perkuliahan, dan ini dapat menjadi pemicu pemikiran bunuh diri. Oleh karena itu, penting untuk menyadari dan mengapresiasi pentingnya menjaga kesehatan mental dalam konteks ini. Pertama-tama, menjaga kesehatan mental membantu mencegah munculnya pemikiran bunuh diri. Dalam sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Pediatrics pada tahun 2019, peneliti menemukan bahwa mahasiswa yang mengalami stres tinggi memiliki risiko lebih tinggi untuk merencanakan bunuh diri.Â
Oleh karena itu, dengan menjaga kesehatan mental, kita dapat mengurangi risiko terjadinya pemikiran bunuh diri pada mahasiswa. Selain itu, menjaga kesehatan mental juga membantu meningkatkan resiliensi mahasiswa dalam menghadapi tantangan kehidupan. Menurut American Psychological Association, kesehatan mental yang baik membantu seseorang mengatasi stres, menjalin hubungan sosial yang kuat, dan mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah.Â
Semua ini sangat penting dalam merespons pemikiran bunuh diri, karena mahasiswa yang memiliki sumber daya ini akan lebih mampu mencari bantuan dan dukungan ketika mereka membutuhkannya. Pentingnya kesehatan mental juga tercermin dalam upaya pencegahan bunuh diri yang semakin meningkat di berbagai institusi pendidikan. Banyak kampus sekarang memiliki pusat kesehatan mental yang menyediakan layanan konseling, dukungan, dan informasi tentang kesehatan mental. Hal ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan menyadari perlunya merespons masalah ini.
Selain itu, pentingnya kesehatan mental dalam menyikapi bunuh diri pada mahasiswa juga didukung oleh organisasi-organisasi seperti World Health Organization (WHO) dan National Institute of Mental Health (NIMH) yang telah mempromosikan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri.
Dalam rangka menyikapi masalah ini, mahasiswa juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang tanda-tanda dan gejala kesehatan mental yang mungkin muncul. Edukasi tentang kesehatan mental perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan tinggi, sehingga mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah kesehatan mental, baik pada diri mereka sendiri maupun teman-teman mereka, dan mencari bantuan segera. Bunuh diri merupakan masalah serius yang mendalam dan kompleks, terutama dalam konteks mahasiswa.Â
Dalam beberapa tahun terakhir, angka bunuh diri di kalangan mahasiswa telah meningkat secara signifikan. Hal ini telah mengundang perhatian serius dari berbagai pihak dan menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesehatan mental dalam menyikapi bunuh diri pada mahasiswa. Dalam esai ini, kita akan mengulas mengapa masalah ini begitu penting dan bagaimana menjaga kesehatan mental dapat menjadi solusi yang efektif. Sumber-sumber berikut akan memberikan dasar yang kuat untuk argumen ini:
American College Health Association (ACHA): ACHA telah melakukan penelitian mendalam tentang kesehatan mental mahasiswa dan menemukan bahwa stres akademik, tekanan sosial, dan masalah keuangan adalah beberapa faktor utama yang menyebabkan masalah kesehatan mental pada mahasiswa. Ini adalah sumber yang sangat relevan yang dapat digunakan untuk menggambarkan tekanan yang dihadapi mahasiswa dan bagaimana hal tersebut dapat berkontribusi pada pemikiran bunuh diri.
Journal of Adolescent Health: Artikel ilmiah dalam jurnal ini telah membahas prevalensi bunuh diri di kalangan mahasiswa dan faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan ini. Informasi ini dapat digunakan untuk mendukung argumen tentang pentingnya kesadaran dan pencegahan bunuh diri di kalangan mahasiswa.
National Alliance on Mental Illness (NAMI): NAMI adalah organisasi non-profit yang menyediakan informasi dan sumber daya tentang kesehatan mental. Mereka memiliki banyak sumber daya yang relevan untuk menyadarkan pentingnya perawatan kesehatan mental dan menghapus stigma seputar masalah ini.
Kasus nyata dan testimonial: Selain sumber-sumber ilmiah, menggambarkan pengalaman pribadi atau studi kasus nyata dari mahasiswa yang telah menghadapi tantangan kesehatan mental dan berhasil mengatasinya juga dapat menjadi bukti kuat. Menggunakan testimonial dapat memberikan dimensi manusiawi pada esai dan membuatnya lebih berdaya ungkit.
Dalam menyikapi bunuh diri pada mahasiswa, ada beberapa argumen penting yang dapat diajukan. Pertama, menjaga kesehatan mental adalah kunci untuk mencegah pikiran bunuh diri. Dengan memberikan pendidikan tentang kesehatan mental, mahasiswa dapat memahami gejala, mencari bantuan jika diperlukan, dan mengembangkan strategi untuk mengatasi stres. Kedua, mengurangi stigma adalah elemen penting. Mahasiswa mungkin merasa malu atau takut untuk mencari bantuan karena stigma yang terkait dengan masalah kesehatan mental.Â
Oleh karena itu, mendiskusikan kesehatan mental secara terbuka dan mendukung teman-teman yang mengalami masalah dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman dan peduli. Terakhir, universitas dan perguruan tinggi perlu memberikan layanan dukungan kesehatan mental yang mudah diakses dan terjangkau. Dengan menyediakan konseling, program pencegahan bunuh diri, dan dukungan lainnya, institusi pendidikan dapat berperan aktif dalam membantu mahasiswa yang membutuhkan.
Dapat disimpulkan bahwa pentingnya menjaga kesehatan mental dalam menyikapi bunuh diri pada mahasiswa tidak dapat diremehkan. Dengan pendidikan, pengurangan stigma, dan dukungan yang memadai, kita dapat membantu mahasiswa mengatasi stres dan tekanan yang mungkin menyebabkan pikiran bunuh diri. Dengan referensi ke sumber-sumber yang relevan seperti yang telah disebutkan di atas, kita dapat memperkuat argumen ini dan berkontribusi pada kesadaran akan masalah ini yang begitu penting.Â
Terlepas dari usia, jenis kelamin, atau latar belakang, menjaga kesehatan mental adalah tugas yang tak boleh diabaikan. Kesehatan mental memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup kita, produktivitas, dan hubungan dengan orang lain. Salah satu alasan mengapa menjaga kesehatan mental penting adalah karena kesehatan mental yang buruk dapat berdampak negatif pada kesejahteraan fisik. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal "Psychosomatic Medicine" pada tahun 2013, tekanan emosional yang tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan fisik, seperti penyakit jantung, gangguan pencernaan, dan penurunan sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu, menjaga kesehatan mental merupakan langkah awal dalam menjaga kesehatan fisik.Â
Selain itu, kesehatan mental yang baik berkontribusi terhadap produktivitas dan kinerja seseorang. Penelitian yang dipublikasikan dalam Harvard Business Review pada tahun 2015 menemukan bahwa karyawan yang merasa stres atau memiliki masalah kesehatan mental cenderung kurang produktif dalam bekerja. Hal ini dapat menyebabkan penurunan kinerja, peningkatan ketidakhadiran, dan potensi konflik di tempat kerja. Dengan menjaga kesehatan mental, seseorang dapat meningkatkan produktivitas dan kesuksesan karier. Selain itu, menjaga kesehatan mental juga berdampak positif pada hubungan interpersonal. Kesehatan mental yang buruk dapat memengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain, sehingga meningkatkan risiko konflik atau isolasi sosial. Hal ini dapat merusak hubungan dengan teman, keluarga, dan pasangan.Â
Menurut American Psychological Association, menjaga kesehatan mental yang baik dapat membantu seseorang menjadi lebih mudah beradaptasi, berempati, dan lebih mampu mengelola konflik, sehingga memperkuat hubungan sosial. Terakhir, pentingnya menjaga kesehatan mental juga ditunjukkan melalui upaya pencegahan penyakit mental yang serius. Banyak penyakit mental, seperti depresi dan kecemasan, bisa menjadi lebih buruk jika tidak ditangani. Meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental dan mencari dukungan bila diperlukan dapat membantu mencegah berkembangnya masalah mental yang lebih serius.Â
Singkatnya, menjaga kesehatan mental adalah kunci  hidup  bahagia, sehat, dan produktif. Dampaknya terlihat pada kesehatan fisik, produktivitas dan hubungan interpersonal. Oleh karena itu, penting untuk memberikan perhatian penuh terhadap kesehatan mental kita dan mencari bantuan jika diperlukan. Dengan perawatan yang tepat, kita bisa mencapai keseimbangan yang baik dalam hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI