Ancaman bunuh diri merupakan ungkapan yang ditujukan kepada orang lain yang mengindikasikan keinginan untuk melakukan bunuh diri. Sedangkan percobaan bunuh diri/parasuicide didefinisikan sebagai semua tindakan melukai diri sendiri dengan hasil yang tidak fatal dengan tujuan untuk mencari perhatian, dan keinginan untuk menjadikan bunuh diri sebagai penyebab kematian yang tercantum pada sertifikat kematian atas dirinya (Rathus dan Miller, 2002; Pelkonen dan Marttunen, 2003; Orden et al., 2011).Â
National Centre for Health Statistic (NCHS) tahun 2000 mengungkapkan data angka bunuh diri di AS dari segi usia, pada usia 10-14 tahun adalah 1,6/100.000, sedangkan usia 15-19 tahun 9,5/100.000. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki 3 kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan anak perempuan, namun seiring bertambah usia ratio semakin bertambah menjadi 4,5 : 1 pada usia 15-19 tahun. Percobaan bunuh diri pada remaja 2 kali lipat lebih sering pada perempuan dibandingkan laki-laki.Â
Sedangkan ide bunuh diri sering dijumpai pada pelajar SMA, kira-kira 1 dari 4 perempuan, dan 1 dari 6 laki-laki (AACAP, 2001; Cash dan Bridge, 2009). Metode bunuh diri pada remaja yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan senjata api. Pada percobaan bunuh diri, metode yang paling sering digunakan adalah menelan analgetik, selain itu metode lain yang sering digunakan adalah mengiris permukaan pergelangan tangan atau leher (AACAP, 2001; Gould dan Kramer, 2001; Shain dan Care, 2007; Cash dan Bridge, 2009).
Gangguan psikiatri yang sering menjadi faktor resiko bunuh diri pada anak dan remaja adalah gangguan suasana perasaan (depresi dan bipolar), skizofrenia, penyalahgunaan zat, gangguan tingkah laku, dan gangguan makan (Apter dan Freudstein, 2000 dalam Gould dan Kramer, 2001 dalam Shain dan Care, 2007). Faktor resiko lain yang juga bisa memunculkan perilaku bunuh diri yaitu adanya kejadian yang menimbulkan stres, masalah hubungan anak dan orangtua, perceraian orangtua, riwayat keluarga, dan penyakit kronis (Shafii et al., 1985; Gould et al., 1996; Pfeffer, 2000; Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh dan Kosky, 2005; Gray dan Dihigo, 2015).
Keputusasaan serta kemampuan meyelesaikan masalah yang buruk juga dihubungkan dengan perilaku bunuh diri. Perilaku bunuh diri dijumpai diantara pasien dengan range IQ retardasi mental sedang atau di atasnya dan lebih sering dijumpai pada remaja dibandingkan anak-anak (Gould dan Kramer, 2001; Sofronoff, Dagliesh dan Kosky, 2005).
Banyak mahasiswa merasa cemas atau stres selama masa perkuliahan, dan ini dapat menjadi pemicu pemikiran bunuh diri. Oleh karena itu, penting untuk menyadari dan mengapresiasi pentingnya menjaga kesehatan mental dalam konteks ini. Pertama-tama, menjaga kesehatan mental membantu mencegah munculnya pemikiran bunuh diri. Dalam sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Pediatrics pada tahun 2019, peneliti menemukan bahwa mahasiswa yang mengalami stres tinggi memiliki risiko lebih tinggi untuk merencanakan bunuh diri.Â
Oleh karena itu, dengan menjaga kesehatan mental, kita dapat mengurangi risiko terjadinya pemikiran bunuh diri pada mahasiswa. Selain itu, menjaga kesehatan mental juga membantu meningkatkan resiliensi mahasiswa dalam menghadapi tantangan kehidupan. Menurut American Psychological Association, kesehatan mental yang baik membantu seseorang mengatasi stres, menjalin hubungan sosial yang kuat, dan mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah.Â
Semua ini sangat penting dalam merespons pemikiran bunuh diri, karena mahasiswa yang memiliki sumber daya ini akan lebih mampu mencari bantuan dan dukungan ketika mereka membutuhkannya. Pentingnya kesehatan mental juga tercermin dalam upaya pencegahan bunuh diri yang semakin meningkat di berbagai institusi pendidikan. Banyak kampus sekarang memiliki pusat kesehatan mental yang menyediakan layanan konseling, dukungan, dan informasi tentang kesehatan mental. Hal ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan menyadari perlunya merespons masalah ini.
Selain itu, pentingnya kesehatan mental dalam menyikapi bunuh diri pada mahasiswa juga didukung oleh organisasi-organisasi seperti World Health Organization (WHO) dan National Institute of Mental Health (NIMH) yang telah mempromosikan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri.
Dalam rangka menyikapi masalah ini, mahasiswa juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang tanda-tanda dan gejala kesehatan mental yang mungkin muncul. Edukasi tentang kesehatan mental perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan tinggi, sehingga mahasiswa dapat mengidentifikasi masalah kesehatan mental, baik pada diri mereka sendiri maupun teman-teman mereka, dan mencari bantuan segera. Bunuh diri merupakan masalah serius yang mendalam dan kompleks, terutama dalam konteks mahasiswa.Â
Dalam beberapa tahun terakhir, angka bunuh diri di kalangan mahasiswa telah meningkat secara signifikan. Hal ini telah mengundang perhatian serius dari berbagai pihak dan menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesehatan mental dalam menyikapi bunuh diri pada mahasiswa. Dalam esai ini, kita akan mengulas mengapa masalah ini begitu penting dan bagaimana menjaga kesehatan mental dapat menjadi solusi yang efektif. Sumber-sumber berikut akan memberikan dasar yang kuat untuk argumen ini: