Namun, meskipun trending akhir-akhir ini, fenomena skinny influencer bukanlah hal baru. Di awal 2000-an, gerakan "pro-anorexia" (atau "pro-ana") sempat mendominasi internet, mempromosikan pola makan ekstrem yang berujung pada gangguan makan.Â
Kini, pesan serupa hadir dengan kemasan lebih halus, yaitu dengan narasi self-discipline (mendisiplinkan diri), healthy living (hidup sehat), dan self-love (mencintai diri sendiri).Â
Menurut Kathleen Someah, seorang psikolog spesialis gangguan makan, pendekatan ini lebih sulit dikenali tetapi sama berbahayanya.Â
"Pesan seperti ini mengaburkan batas antara hidup sehat dan tekanan sosial untuk mencapai standar tubuh tertentu," ujarnya.Â
Selain itu, para ahli juga menyoroti bahwa audiens muda, atau usia sekitar remaja dan dewasa awal, ebih rentan terhadap pengaruh semacam ini.Â
Skinny Influencer Berlawanan dengan Body Positivity
Di era di mana body positivity mulai mendapat panggung, fenomena skinny influencer tampaknya justru bertolak belakang dengan nilai gerakan ini.Â
Body positivity menekankan penerimaan tubuh dalam segala bentuk dan ukuran, namun narasi yang dibawa skinny influencer sering kali mengarah pada pengejaran tubuh ideal semata. Â
Sebagian orang berpendapat bahwa fenomena ini menciptakan ketegangan baru dalam budaya kecantikan.Â
Di satu sisi, ada dorongan untuk menerima tubuh apa adanya. Di sisi lain, media sosial terus-menerus menyuguhkan citra tubuh langsing yang dianggap lebih baik, lebih cantik, dan lebih diterima. Â
Lantas, Apa yang Bisa Dilakukan?