Sebagai negara berkembang yang kaya sumber daya alam, Indonesia mengalami ironi yang memprihatinkan. Tanah air yang seharusnya menjadi tempat terbaik untuk berkarya, justru hanya dijadikan sebagai tempat kelahiran yang terkesan tidak membanggakan.Â
Sepanjang tahun 2024 bahkan jauh dari sebelum ini, terdapat banyak kasus perihal putra-putri terbaik bangsa yang memilih meninggalkan Indonesia, mencari pengakuan dan peluang di negeri orang demi hidup yang lebih baik.Â
Fenomena ini tentu tidak hanya ada di Indonesia, yaitu dikenal dengan istilah brain drain, dalam bahasa Inggris "brain" artinya otak dan "drain" artinya kering, sehingga dapat disebut sebagai"pengeringan otak" atau "kekeringan otak."
Namun, maksud kata otak di sini yaitu merujuk pada potensi yang bisa memajukan dan mengembangkan suatu negara, seperti halnya keahlian, kecerdasan, intelektual, kompetensi dan sejenisnya yang dimiliki oleh seseorang dalam suatu negara.Â
Fenomena brain drain diartikan sebagai gelombang migrasi atau perpindahan, di mana tenaga ahli, yang cerdas dan profesional berbondong-bondong pergi ke negara lain dan meninggalkan negaranya.Â
Akibatnya, kekuatan intelektual dan daya saing negara semakin menurun dan tertinggal dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Sehingga diistilahkan sebagai kekeringan.Â
Lantas, apakah ini pertanda pudarnya nasionalisme atau rasa cinta terhadap tanah air? Ataukah justru kegagalan sistem pemerintahan, yang lalai dan tidak ramah untuk anak bangsanya berkembang?
Penyebab Adanya Brain Drain
Keputusan untuk terlibat dalam brain drain, sering kali ditikam dengan stigma tidak nasionalis ataupun tidak cinta tanah air, terutama bagi mereka yang mengenyam pendidikan dengan beasiswa dalam negeri dan memiliki amanah untuk memajukannya.Â
Hal ini pernah menjadi polemik yang panjang, dimana terjadi blunder di antara pihak pemerintah sendiri, baru-baru ini pernyataan berlawanan terjadi antara Mendiktisaintek dan Mendikdasmen.Â
Mendiktisaintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro pernah memberikan pernyataan bahwa para penerima beasiswa Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) tidak harus kembali ke Indonesia.
Sementara itu, Mendikdasmen Abdul Muti menyampaikan bahwa para talenta muda tanah air yang berada di luar negeri diharapkan kembali ke Indonesia dan berkontribusi membangun tanah air.Â
Terlepas dari apapun motif dari pernyataan tersebut, para penerima beasiswa di luar negeri atau talenta muda tersebut tergolong aset bangsa yang bilamana hilang, tentu menyuburkan fenomena brain drain ini.Â
Walaupun tentu keputusan merantau atau menetap di luar negeri tak selalu soal kurang cinta tanah air. Bahkan, ada yang ingin kembali dengan kontribusi lebih besar. Namun faktanya, banyak yang tergoda tawaran negara maju dan melupakan tanah air.Â
Penelitian Jurnal DPR RI mencatat, banyak penerima beasiswa luar negeri akhirnya memilih menetap di sana. Alasannya beragam, mulai dari bakat yang lebih dihargai, insentif layak, fasilitas memadai, dan dukungan riset yang kuat dibandingkan di negeri sendiri.Â
Di Indonesia, lapangan kerja sempit, kualitas pendidikan yang masih rendah, nepotisme merajalela, hukum yang masih tajam ke bawah tapi tumpul ke atas serta perputaran ekonomi yang tidak stabil.
Tak heran, banyak yang memilih melanjutkan pendidikan di luar negeri bahkan berkarier di sana, seperti halnya tagar di media sosial yang sempat ngetren "KaburAjaDulu," Sebuah fenomena yang menggambarkan kondisi yang sangat memprihatinkan.Â
Di sisi lain, bicara soal brain drain, banyak pihak di dalam negeri yang justru terjebak dalam crab mentality atau rasa iri terhadap orang-orang yang berhasil dan menetap di luar negeri.Â
Sehingga muncul stigma bahwa para perantau yang berbakat tersebut terkesan sebagai penghianat bangsa dan cenderung "tidak nasionalis." Terlebih jika sebelumnya menempuh pendidikan dengan biaya dari pemerintah.Â
Dalam hal ini, antara cinta tanah air dan crab mentality terkesan sedikit tipis perbedaannya. Namun, berangkat dari apapun motifnya, jika hanya menjadi perdebatan medsos, tanpa adanya ketegasan dan perbaikan sistem, tentunya akan menyuburkan fenomena brain drain.Â
Dampak Brain Drain
Hilangnya tenaga ahli tidak hanya menciptakan kekosongan di beberapa sektor strategis. Lebih dari itu, fenomena ini meninggalkan luka mendalam yang memengaruhi masa depan bangsa.
1. Krisis Tenaga Profesional
Di saat kebutuhan akan inovasi dan keahlian semakin meningkat, Indonesia justru kehilangan sumber daya manusianya. Sektor kesehatan, teknologi, hingga pendidikan terpaksa berjalan dengan kapasitas seadanya, menghambat langkah kita menuju negara maju.
2. Penurunan Daya Saing Global
Negara-negara maju terus mengembangkan ekonominya dengan memanfaatkan tenaga ahli dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia. Sementara itu, kita tertinggal, tidak mampu bersaing dalam hal inovasi maupun produktivitas.
3. Ketimpangan Ekonomi yang Kian Melebar
Fenomena ini juga memperparah ketimpangan antara negara maju dan berkembang. Ketika mereka memanen hasil kerja para profesional kita, Indonesia hanya mendapatkan kekosongan, baik dari sisi finansial maupun intelektual.
Strategi Mengatasi Brain Drain
Untuk membawa mereka kembali, atau setidaknya mencegah lebih banyak talenta yang pergi, diperlukan langkah konkret yang berpihak pada pengembangan sumber daya manusia.
1. Bangun Ekosistem yang Mendukung
Pemerintah perlu menciptakan lingkungan kerja yang kompetitif. Insentif finansial yang sesuai, fasilitas yang memadai, hingga kebebasan dalam berkarya menjadi kebutuhan mendasar yang harus segera dipenuhi.
2. Dorong Kolaborasi dengan Diaspora
Alih-alih memaksa mereka kembali, pemerintah bisa menjalin kolaborasi dengan diaspora untuk mentransfer ilmu dan teknologi ke dalam negeri. Ini bisa menjadi cara efektif untuk mengubah brain drain menjadi brain gain
3. Hadirkan Industri Berbasis Inovasi Brain Gain
Menciptakan sektor-sektor industri berbasis teknologi dan riset akan membuka peluang karier yang menjanjikan, sehingga tenaga ahli merasa lebih dihargai di tanah air sendiri.
Fenomena brain drain tidak hanya tentang orang-orang yang pergi, tetapi juga tentang tanah air yang mereka tinggalkan. Bagaimana Indonesia bisa menjadi tempat yang layak untuk bermimpi dan mewujudkan mimpi?
Jawabannya terletak pada sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Ketiganya perlu menunjukkan bahwa negeri ini tidak hanya meminta pengorbanan, tetapi juga mampu memberi penghargaan yang pantas.Â
Tentunya, pengabdian juga mesti menjadi bentuk tanggungjawab agar para ahli memberikan manfaat yang luar biasa untuk kemajuan Indonesia.
Seburuk apapun birokrasi di Indonesia. tindakan-tindakan seperti hanya mengolok-ngolok sistem tanpa berkontribusi pada perbaikan, bahkan melakukan pemalsuan dokumen kepulangan tentu tidak dibenarkan.
Demikian itulah fenomena brain drain di Indonesia yang sudah mulai terasa, antara pudarnya nasionalisme dan gagalnya sistem pemerintahan.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI