Mohon tunggu...
Gita Yulia
Gita Yulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

I am a student of Journalistic Communication Studies, I actively read and share writing on several online media sites, both in the form of light articles, short stories, poetry and short opinions related to actual interesting issues. The reason I joined Kompasiana was because I was interested in the various features available to spread kindness to the public

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

"Marriage is Scary" Trending di Sosial Media, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

17 Agustus 2024   09:20 Diperbarui: 18 Agustus 2024   21:05 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marriage is Scary (Foto Megapixelstock/pexels.com) 

Belakangan ini, "Marriage is Scary" menjadi trending topik di media sosial, seiring dengan beredarnya kasus kasus tentang pernikahan. Frasa tersebut menarik perhatian, terutama di kalangan generasi muda, yang mulai mempertanyakan institusi pernikahan di era modern. 

Namun, apa sebenarnya yang terjadi di balik istilah ini? Mengapa banyak orang merasa bahwa pernikahan menakutkan? dan apa manfaat serta madharatnya bagi ekosistem sosial di Indonesia? Yuk, simak selengkapnya. 

Interaksi pada Media Sosial

Ketakutan terhadap pernikahan atau "Marriage is Scary" sebenarnya bukanlah fenomena baru. Sejak dulu, pernikahan sering kali dihadapkan pada berbagai masalah seperti perselingkuhan, perceraian, kesulitan ekonomi, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Perbedaannya dengan era modern, yaitu bagaimana teknologi dan media sosial memperkuat kekhawatiran ini. Setiap peristiwa negatif terkait pernikahan dengan cepat menyebar luas, menciptakan narasi kolektif yang penuh dengan ketakutan.

Media sosial, dengan segala kemudahannya untuk berbagi cerita, termasuk cerita tentang hubungan asmara dan pernikahan, tidak hanya permasalahan rumah tangga para artis atau influencer, tetapi juga masyarakat luas, yang aktif bersosial media. 

Selain itu, ketika konten-konten yang menggambarkan kehidupan pernikahan sempurna, seperti keromantisan, kemewahan dan gambaran kehidupan manis lainnya justru menciptakan idealisme yang tinggi tentang memilih pasangan. 

Seperti halnya, muncul pemikiran bahwa pasangan yang baik itu yang full effort, nge-treat like a queen, nangis ketika mengucapkan akad dan kategori lainnya yang dikontruksikan oleh media saat ini. Sehingga mereka khawatir tidak mendapatkan spek seperti itu dan takut menikah. 

Sebaliknya, pengalaman pahit dalam pernikahan yang dibagikan secara luas tentang bagaimana konflik rumah tangga yang dibumbui dengan perselingkuhan, KDRT dan lain-lain juga memperkuat persepsi bahwa pernikahan adalah sesuatu yang menakutkan. 

Framing Media Massa

Selain itu interaksi pada media sosial, Framing media dalam memberitakan pernikahan juga memainkan peran penting. karena hakikatnya, berita tidak hanya menginformasikan fakta, tetapi memiliki framing yang berpengaruh terhadap  news value yang didapatkan audiens. 

Berita yang menonjolkan konflik atau kesulitan dalam rumah tangga sering kali diiringi dengan narasi yang kuat mengenai penderitaan dan kesedihan, sehingga menimbulkan hubungan emosional dengan audiens atau human interest. 

Berangkat dari human interest pada korban KDRT atau perselungkuhan misalnya, dalam psikologi ada yang namanya  vicarious trauma (trauma tidak langsung) atau bisa disebut juga trauma skunder. 

Dalam hal ini, meskipun pembaca tidak mengalami langsung, mereka dapat merasakan efek emosional yang mendalam dari berita-berita tersebut, yang akhirnya membentuk sikap skeptis terhadap pernikahan.

Dampaknya Terhadap Perubahan Sosial

Tren "Marriage is Scary" ini tidak hanya memunculkan rasa takut untuk menjalin hubungan yang sah secara agama dan negara, tetapi juga mendorong perubahan perilaku yang berbeda dalam masyarakat. 

Di satu sisi, tren ini mendorong individu untuk lebih mandiri, menyayangi diri sendiri dan kritis dalam memilih pasangan. Mereka lebih berhati-hati, berusaha memahami potensi masalah dalam pernikahan, dan mencari cara untuk menghindarinya.

Termasuk dengan adanya perjanjian sebelum memutuskan menikah atau janji pra nikah, meleknya kesadaran tentang budaya patriaki yang merugikan salah satu pihak, tren "speak up" dari para korban KDRT, juga kontrol sosial yang ketat terhadap tingkah laku berumah tangga. 

Namun, di sisi lain, tren ini juga membawa dampak negatif. ketika privasi berumah tangga lambat laun terkuliti netizen, pernikahan hanya dianggap monster yang menyeramkan tanpa diiringi dengan semangat belajar, mempersiapkan bekal mental, finansial, emosional. 

Ketakutan yang berlebihan bisa mengakibatkan penurunan angka pernikahan, dan pada gilirannya bisa menyebabkan peningkatan dalam hubungan tanpa komitmen resmi. 

Lebih jauh lagi, ada kekhawatiran bahwa tren ini bisa merusak institusi pernikahan itu sendiri, membuat orang lebih memilih untuk hidup bersama tanpa menikah, atau bahkan menghindari hubungan jangka panjang sama sekali.

Pada akhirnya, tren "Marriage is Scary" mencerminkan pergeseran pandangan masyarakat terhadap pernikahan. Ini adalah respons terhadap tekanan sosial dan realitas pernikahan yang sering kali jauh dari ideal. 

Namun, penting untuk diingat bahwa pernikahan adalah pilihan personal yang membutuhkan pemahaman mendalam dan kesiapan, baik secara emosional,  finansial maupun mental. Apakah tren ini akan berdampak positif atau negatif, sangat bergantung pada bagaimana individu dan masyarakat menyikapinya. 

Jadi, apakah tren ini adalah tanda dari masyarakat yang semakin kritis dan realistis, atau justru mencerminkan ketakutan yang tak berdasar? Jawabannya ada pada bagaimana kita menilai pernikahan itu sendiri, sebagai sebuah komitmen yang memerlukan pondasi yang kokoh, atau sebagai sesuatu yang menakutkan dan harus dihindari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun