Mohon tunggu...
Gita Yulia
Gita Yulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

I am a student of Journalistic Communication Studies, I actively read and share writing on several online media sites, both in the form of light articles, short stories, poetry and short opinions related to actual interesting issues. The reason I joined Kompasiana was because I was interested in the various features available to spread kindness to the public

Selanjutnya

Tutup

Financial

Tak Pandang Kaya-Miskin, Setiap Orang Dituntut Shaleh dalam Finansial

13 Agustus 2024   15:44 Diperbarui: 13 Agustus 2024   22:13 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kamu berpikir tentang apa artinya menjadi "shaleh" dalam hal finansial? Mungkin yang terlintas adalah seseorang yang sangat religius atau sering beramal dengan uang, seperti si kaya yang rajin bersedekah atau si mampu yang rutin berzakat.

Namun, kenyataannya, "shaleh" dalam finansial lebih dari sekedar memberi, melainkan literasi finansial, yakni pengetahuan dan kebiasaan mengelola uang dengan bijaksana. Dan ini bukan hanya penting bagi orang kaya atau yang beragama tertentu, tetapi juga bagi siapa saja, termasuk yang kurang beruntung secara ekonomi.

Ada anggapan bahwa literasi dalam finansial hanya dibutuhkan oleh orang-orang yang memiliki banyak uang, Tentunya hal ini sangat keliru. Bahkan orang yang tidak punya uang sekalipun tetap diharuskan melek literasi finansial.

Mengapa? Karena, justru saat kita tidak punya uang, bijaksana mengelola keuangan menjadi semakin penting. Dengan literasi finansial, seseorang bisa mengatur pengeluaran, meminimalkan utang, dan membuat rencana keuangan yang realistis agar tetap bisa memenuhi kebutuhan dasar.

Tetapi ketika bicara soal bijak mengatur keuangan, terkadang ucapan yang nyeletuk tidak lepas dari keluhan, "Apa yang perlu dikelola kalau uangnya saja tidak ada?"

Sekilas, ini terdengar masuk akal. Namun, bukankah saat tidak punya uang kita tetap memerlukan uang? Entah itu dengan meminjam, menerima bantuan, atau mengelola sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya agar bisa ditukar atau menghasilkan uang.

Fenomena Utang dan Dinamika Sosial

Berbicara tentang finansial, utang menjadi elemen penting yang tidak luput untuk dibahas, ada ungkapan yang mungkin sering kita dengar: "Pinjam uang adalah maut." Kerap kali, meminjamkan uang justru menjadi alasan retaknya suatu hubungan.

Ada beberapa tipe peminjam maut seperti ini, Pertama: orang yang cepat membayar tetapi juga cepat berutang kembali. Kedua, orang yang selalu meminta perpanjangan waktu dan membayar melebihi tenggat perjanjian.

Ketiga, orang playing pictim dan merasa korban saat ditagih hutang. Keempat, orang yang mengamuk saat diingatkan hutang. Dan yang paling kelewat bijaksananya, orang yang kelima, yaitu orang yang pura-pura lupa, seolah-olah hutang itu tidak pernah ada. 'Kayak emang boleh selupa itu ya?'

Nah, fenomena ini juga tidak hanya merusak hubungan antarindividu, tetapi juga menciptakan lingkaran masalah yang lebih besar dalam masyarakat. 

Seperti yang kita tahu, uang memang bukanlah segalanya, tetapi segalanya membutuhkan uang. Ketidakmampuan dalam mengelola keuangan sering kali menjadi pemicu masalah sosial lainnya, seperti perceraian, penelantaran anak, hingga tindakan kriminal.

Menurut laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai penyaluran pinjaman online di Indonesia mencapai Rp22,76 triliun per Maret 2024, dan masyarakat yang terlilit utang pinjaman online hampir mencapai 5 persen dari total penduduk Indonesia.

Terlebih tidak hanya pinjaman online, masih banyak pula orang-orang yang meminjam di bank-bank konvensional maupun bank keliling. Ironisnya, banyak dari mereka yang berhutang bukan untuk modal usaha, melainkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau bahkan tersesat dalam perjudian. 

Tanggung Jawab Finansial

Pernahkan kamu mendengar istilah gaji 2.3 digit? Fenomena pekerja yang mendapatkan gaji tanggal dua dan habis di tanggal 3 berkedok self rewards, ya tentu tidak ada larangan untuk menghargai perjuangan diri.

Namun, ketika dari tanggal 4 sampai akhir bulan kamu memutuskan untuk berhutang, di situ kamu terjebak dalam lingkaran "gali lubang, tutup lubang" sementara semua orang tidak terlahir untuk terus sehat dan produktif. Artinya, kamu harus menyisihkan uang untuk hari esok.

Belilah sesuatu berdasarkan tingkat kebutuhan bukan keinginginan, hidup mengejar standar sosial dan trend zaman tidak akan ada habisnya, kamu akan tetap tertinggal, jika kamu membelanjakan uangmu tidak sesuai dengan tingkat pendapatanmu. 

Terlebih jika kamu seorang laki-laki yang sudah berkeluarga, Dalam hukum di Indonesia, suami dan ayah bisa dituntut karena tidak memberikan nafkah yang layak kepada istri dan anak-anaknya.

Kewajiban ini diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang menegaskan bahwa suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya, termasuk kebutuhan finansial.

Gagal memberikan nafkah bukan hanya soal materi, tetapi juga menunjukkan ketidakshalehan dalam mengelola keuangan keluarga.

Ketika suami atau ayah tidak mampu atau tidak mau memberikan nafkah, dampaknya bisa sangat luas: dari kehancuran rumah tangga hingga masalah hukum yang bisa berujung pada tuntutan pidana.

Situasi ini menjadi lebih rumit ketika suami atau ayah berutang untuk kebutuhan yang tidak mendesak atau bahkan merugikan, seperti berjudi atau hidup mewah.

Memperoleh Uang dengan Cara Halal

Selain literasi dan tanggung jawab finansial, aspek shaleh dalam finansial yang tidak kalah penting adalah memperoleh uang dengan cara yang halal. Uang yang diperoleh dari jalan yang benar dan sesuai dengan ajaran agama, bukan hanya berkah, tetapi juga memberikan ketenangan jiwa.

Mencari nafkah dengan cara halal tidak hanya berlaku bagi mereka yang beragama Islam, tetapi prinsip ini sebenarnya dapat diterapkan oleh siapa saja yang menginginkan kehidupan yang beretika dan bermoral. Menghindari praktik-praktik seperti riba, penipuan, atau kegiatan ilegal lainnya adalah bagian dari menjaga kehalalan pendapatan.

Selain itu, mengusahakan pekerjaan atau usaha yang bermanfaat bagi orang lain juga bisa menjadi cara untuk mencari nafkah yang halal. Misalnya, berjualan barang yang bermanfaat, memberikan jasa yang dibutuhkan masyarakat, atau berinovasi dalam menciptakan produk yang membantu meningkatkan kualitas hidup orang banyak.

Ketika seseorang memperoleh uang dengan cara yang halal, ia tidak hanya menjaga dirinya dari masalah hukum dan moral, tetapi juga memberikan contoh yang baik bagi keluarga dan komunitas. Uang yang didapat dengan cara yang benar akan lebih mudah dikelola dengan bijak, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kebaikan dan tanggung jawab.

Dengan demikian, shaleh dalam finansial bukan hanya soal memiliki banyak atau sedikit uang. Ini adalah tentang bagaimana kita mendapatkan dan mengelola keuangan dengan bijaksana, tanpa memperparah kondisi yang sudah sulit. Dengan literasi finansial yang baik dan kebiasaan yang benar, kita bisa mengatasi tantangan finansial dan hidup dengan lebih tenang dan sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun