Apa yang dibayangkan ketika mendengar kata Mahasiswa Jurnalistik di zaman informasi mudah dikonsumsi, didistribusi bahkan diproduksi oleh berbagai kalangan?
Bicara soal realitas, rasanya sangat miris. di era konvergensi media, Jurnalis sekan menjadi profesi paling mudah digapai, keterampilan menjadi jurnalis seakan mudah didapatkan selama bisa menulis dan tampil percaya diri menggunakan media.
Padahal, jurnalis memiliki kode etik khusus selayaknya kode etik kedokteran. Namun, kuliah kedokteran sering kali dianggap lebih dibutuhkan dibandingkan jurnalistik. Bahkan, banyak sekali wartawan atau praktisi media yang dengan sengaja mengadakan pelatihan khusus pembuatan berita, rasanya terlalu instan dan praktis dibandingkan kuliah bertahun-tahun.
Tentu saja, pelatihan tersebut juga justru lebih ekonomis, dibandingkan dengan uang yang  dibayarkan untuk biaya semester, sewa kost, makan sehari-sehari maupun biaya lainnya yang sering kali di luar prediksi mahasiswa.
Sementara, sedikit sekali atau mungkin tidak ada, dokter yang mensosialisasikan cara membuat obat yang biasa diberikannya kepada pasien, nyatanya tidak semua orang dapat menjadi dokter, Bahkan, dokter dengan sengaja merumitkan tulisannya untuk menjaga kerahasiaan racikan obatnya.
Jika dibandingkan seperti demikian, apakah jurnalis terlalu bodoh karena membagikan resepnya sendiri?
Bahkan, di era multiplatfrom ini, ketika semua orang diistilahkan sebagai user, mereka tidak hanya memiliki kesempatan sebagai konsumen berita, melainkan juga produsen, artinya semua orang bisa menciptakan berita dan menghasilkan sebuah konten tanpa harus bekerja atau mengirimkan berita ke sebuah media.
Kemudian, sudah menjadi rahasia umum, para staff atau karyawan yang berada di media mainstream sekali pun, banyak diduduki oleh orang-orang yang notabenenya tidak memiliki background jurusan jurnalistik. Namun, mereka mampu bekerja sebagai jurnalis.
selain itu, yang paling marak diisukan mengancam eksistensi jurnalistik, yaitu kehadiran Artificial Intelegent atau teknologi AI, saat beragam pekerjaan dapat digantikan mesin, terutama profesi jurnalistik. AI memiliki kemampuan menulis, bersuara, mengolah data, bahkan tampil live report layaknya jurnalis manusia.
Lantas, bagaimana nasib prospek kerja mahasiswa jurnalistik ke depannya? di saat mereka tidak hanya akan menghadapi persaingan dengan mahasiswa jurnalistik itu sendiri, melainkan mahasiswa non-jurnalistik, masyarakat umum juga teknologi AI.Â