ideal, terutama di Indonesia.
Idealnya, birokrasi itu memiliki ciri-ciri seperti yang diungkapkan oleh Max Weber. Ciri-ciri tersebut, yaitu birokrat tidak boleh menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadinya, birokrat telah memiliki hak dan kewajibannya masing-masing dan harus dijalankan dengan baik, birokrat diseleksi berdasarkan kualifikasi profesionalitasnya, dan birokrat ini harus memberikan pelayanan yang baik dengan berorientasi kepada masyarakat. Namun, dalam implementasinya, birokrasi tersebut berjalan tidak pada kondisiKondisi tidak ideal itu biasanya disebabkan oleh adanya patologi birokrasi. Patologi ini memiliki berbagai macam bentuk. Patologi birokrasi yang biasanya terjadi di Indonesia ini seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogokan atau suap, adanya pertentangan kepentingan, arogansi dan intimidasi, kredibilitas yang relatif rendah atau nepotisme, kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas di berbagai kegiatan operasional, korupsi, dan patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Patologi tersebut terjadi karena beberapa hal. Pertama, adanya interaksi yang salah dalam struktur dan lingkungan birokrasi tersebut. Kesalahan interaksi ini terjadi karena adanya hubungan yang berlebihan dalam lingkungan birokrasi tersebut, biasanya interaksi ini terjadi karena adanya hubungan kekerabatan atau hubungan pertemanan. Hal tersebut yang akan memberikan peluang untuk terjadinya nepotisme. Kedua, patologi ini terjadi karena struktur kinerja birokrasi yang tidak linear. Hal tersebut akan memungkinkan birokrasi berlaku otoriter dan merasa ingin selalu dilayani karena posisinya.
Ketiga, adanya budaya paternalisme dalam birokrasi. Budaya paternalisme ini merupakan tindakan atau keputusan yang dibuat untuk kepentingan seseorang atau kelompok tertentu untuk keuntungan seseoran atau kelompok tersebut. Hal seperti ini seringkali terjadi di pemerintahan Indonesia. Keempat, terdapat mal-administrasi dalam lingkungan birokrasi tersebut. Hal itu berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku birokrasi yang dapat disuap.
Dilihat dari faktor sejarah, adanya patologi birokrasi yang akut di Indonesia disebabkan oleh adanya budaya birokrasi yang sudah terpelihara sejak lama di lingkup pemerintahan. pada saat zaman penjajahan, birokrasi itu sudah terbiasa dianggap sebagai simbol kerajaan bagi aparatnya yang harus mendapatkan pelayanan dari aparatnya. Budaya pangreh praja, yaitu rakyat mengabdi pada pemerintah yang telah ada di birokrasi zaman kerajaan di Nusantara menciptakan budaya bahwa bawahan harus melayani penguasa.
Pada saat Indonesia merdeka, Indonesia sempat mengalami kekosongan kepemimpinan. Budaya birokrasi yang biasanya dilakukan dengan melayani para penguasa sempat mengalami kebingungan mengenai siapa yang harus mereka layani jika tidak ada pemimpinnya. Oleh karena itu, para bawahan mulai menerapkan budaya baru, yaitu melayani dirinya sendiri yang mengakibatkan pelayanan birokrasi pada saat ini tidak berorientasi pada masyarakat.
Faktor utama birokrasi ini masih mengalami patologi birokrasi yaitu dalam pelaksanaan tugasnya, fungsi pengawasan dan pengendalian itu masih kurang dilaksanakan dalam pelaksanaan birokrasi. Oleh karena itu, penyelahgunaan jabatan yang dilakukan oleh pejabat birokrasi ini masih marak terjadi. Pengendalian yang dilakukan juga belum memberikan efek jera bagi para birokrat.
Patologi tersebut tentunya tidak dibiarkan begitu saja oleh pemerintah Indonesia karena pastinya masyarakat juga sudah sering menuntut untuk dilakukan penanganan patologi tersebut. Penyelesaian patologi birokrasi tersebut dicoba untuk diatasi oleh pemerintah dengan cara menerapkan konsep good governance.
Konsep good governance ini diartikan sebagai pemerintahan yang baik. Good governance ini diwujudkan pemerintah dengan menerapkan nilai yang berorientasi pada rakyatnya. Hal ini berarti pemerintah harus memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Pemenuhan kebutuhan itu juga harus diiringi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat agar negara Indonesia juga dapat sejahtera.
Hal tersebut juga harus diiringi dengan sikap-sikap birokrasi yang mendukung konsep good governance tersebut. Sesuai dengan konsep yang telah ada di birokrasi sektor publik, para birokrat harus mengedepankan konsep kepercayaan publik, etika birokrasi, dan integritas. Kepercayaan publik itu merupakan tujuan penting dari pemerintah. kepercayaan publik akan memberikan legitimasi dalam pengambilan keputusan pemerintah dan meningkatkan keinginan masyarakat untuk mendukung kebijakan tersebut. Etika birokrasi berarti seperangkat moral yang mengatur perilaku para birokrat dalam melakukan pekerjaannya. Etika tersebut juga mengharuskan para birokrat untuk berperilaku sesuai dengan aturan aturan yang berlaku di pemerintahan. Kemudian, integritas berarti para birokrat harus menjalankan tugasnya secara memadai, berhati-hati, dan bertanggung jawab dengan mempertimbangkan semua keputusan yang relevan. Ketiganya harus diterapkan dengan baik karena adanya kepercayaan publik itu dipengaruhi oleh perilaku birokrat yang menampilkan integritas, keterbukaan, loyalitas, kompetensi, dan konsistensi dalam birokrasi.
Konsep good governance ini juga harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaan kebijakan publik. Pada era digital pada saat ini, masyarakat menuntut pemerintah untuk memberikan keterbukaan kepada publik tentang program-program dan pencapaian negara setiap tahunnya. Tentunya hal tersebut juga sudah mulai dilakukan oleh pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya data-data pemerintahan yang dapat diakses oleh masyarakat melalui internet, seperti data APBN, APBD, program pembangunan Indonesia, dan lainnya.
Good governance juga mengharuskan negara untuk melaksanakan kebijakannya dengan memberikan kesempatan atau melakukan kemitraan antara pemerintah, pihak swasta, dan civil society. Penting sekali bagi pemerintah untuk melibatkan kedua pihak tersebut untuk melaksanakan kebijakannya karena memang pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri dengan adanya keterbatasan sumber daya. Selain itu, keterlibatan tiga pihak ini menjadi penting karena masyarakat dan pihak swasta diberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan kebijakan tersebut sehingga pelaksanaannya terbuka.
Keterlibatan tiga pihak itu dapat diwujudkan dalam partnership governance atau quasi government. Sebagai contoh, untuk memudahkan mobilitas masyarakat, pemerintah bekerja sama dengan pihak BUMN untuk menciptakan transportasi yang nyaman dan aman untuk masyarakat. Contoh transportasi tersebut adalah perkapalan yang dilakukan oleh perusahaan BUMN PT Pelni; moda transportasi kereta api seperti MRT, LRT, dan KRL; moda transportasi udara seperti Garuda Indonesia; atau moda transportasi darat seperti Trans Jakarta atau Trans Banyumas.
Apabila good governance ini sudah diterapkan dengan baik, maka akan tercipta birokrasi yang ideal di Indonesia. Namun, pelaksanaan good governance ini masih mengalami sejumlah hambatan dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu, hingga saat ini, patologi birokrasi yang terdapat di pemerintahan Indonesia itu masih belum hilang sepenuhnya dalam pemerintahan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H