Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sedikit bicara, banyak menulis.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Glorifikasi Pekerjaan dan Jabatan, Ajang Mengais Validasi bagi Si Paling Berdasi

21 November 2023   13:32 Diperbarui: 23 November 2023   14:52 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang yang bilang, bahwa momen paling menyebalkan yang akan selalu datang setiap tahunnya adalah momen kumpul keluarga di saat liburan panjang Idul Fitri atau biasa saya menyebutnya libur Lebaran.

Selayaknya orang Indonesia yang tinggal dan bekerja di Indonesia, yang diberkahi dengan adanya momen libur Lebaran dan mudik lebaran. Tentu saya kerap kali memanfaatkan momen sekali dalam satu tahun ini untuk berkunjung ke rumah keluarga, biasanya kita akan ngumpul di satu rumah yang mana itu adalah rumah keluarga tertua di dalam silsilah keluarga kita.

Lho, bukankah itu berarti kumpul keluarga menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu sejak lama oleh banyak orang, karena dalam momen seperti inilah semua anggota keluarga yang lama tidak saling bertemu karena jarak dan kesibukan masing-masing akhirnya bisa berkumpul dan ngobrol satu sama lain?

Pada bagian "bertemu dan berkumpul"-nya, iya, saya setuju, tetapi pada bagian "ngobrol"-nya, nanti dulu. Mari kita dengarkan dulu apa yang biasanya mereka obrolkan saat berkumpul seperti ini.

Bagi saya yang hanya menjadi seorang penulis, ada pertanyaan-pertanyaan lain saat momen kumpul keluarga yang lebih menakutkan bagi saya selain pertanyaan-pertanyaan kapan nikah, kapan punya anak, atau kapan punya rumah.

Satu pertanyaan yang selalu membuat saya takut, atau mungkin lebih tepatnya membuat saya insecure, adalah pertanyaan "APA KESIBUKANMU SEKARANG?" Jika dalam sebuah forum obrolan keluarga saya mulai mendengar pertanyaan-pertanyaan semacam itu,

Lalu apa bedanya kumpul keluarga ini dengan reuni anak-anak SMA yang isinya hanya pamer pencapaian dan pekerjaan?

Lantas kenapa pertanyaan itu menakutkan bagi saya? 

Ya karena saya hanya seorang "penulis" di mata mereka. Di mata anggota-anggota keluarga saya yang mayoritas merupakan karyawan perusahaan-perusahaan swasta dan ASN, ya apalah artinya saya yang hanya seorang "penulis" ini.

Pekerjaan macam apa itu? Mana ada uangnya? Semua orang juga bisa kalau hanya menulis, begitu biasanya pikir mereka yang setiap harinya bangun subuh, pulang malam. Apa yang bisa dibanggakan dari seorang penulis, pikir orang-orang tua dengan wajah sinis mereka memandangi saya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Ya, itu benar-benar terjadi pada saya, bahkan orang pertama yang bisa dikatakan menganggap remeh pilihan "pekerjaan" saya ini adalah ibu saya sendiri. Tentu, saya mengerti jalan pikiran beliau yang tentunya memikirkan masa depan saya kelak jika saya terus bertahan dengan pekerjaan saya saat ini. Tetapi bagi saya, justru beliau secara tidak sadar sedang menunjukkan kepada saya bahwa di dunia ini mayoritas orang hidup dengan "glorifikasi pekerjaan" di dalam kepala mereka.

Saya menggunakan istilah glorifikasi pekerjaan atau jabatan ini sebagai penggambaran pola pikir rerata orang-orang di sekitar kita yang masih menganggap pekerjaan yang ini lebih baik dan lebih menjanjikan daripada pekerjaan yang lain. 

Sebenarnya, saya setuju dengan pemikiran itu. Tetapi kemudian akan lain ceritanya jika glorifikasi jabatan ini memunculkan diskriminasi kepada orang-orang dengan jabatan atau pekerjaan yang dianggap tidak layak tadi.

Bayangkan, ketika Anda ada di dalam sebuah forum obrolan keluarga dan sedang membahas mengenai cerita kesibukan masing-masing, kemudian Anda menjadi satu-satunya orang yang tidak diajak ngobrol hanya karena mereka tahu Anda hanyalah seorang penulis yang menurut mereka keseharian pekerjaannya tidak menyenangkan. Bagaimana rasanya? Sakit, bukan?

Nah, hal-hal semacam itulah yang menguatkan dugaan pribadi saya bahwa memang ada yang namanya glorifikasi pekerjaan di dunia ini dan saya kurang setuju dengan pemikiran-pemikiran seperti ini.

Alasannya adalah ya karena bagi saya, glorifikasi pekerjaan atau jabatan ini tidak ubahnya hanyalah sebuah legitimasi akan sebuah pemikiran dangkal yang mengkotak-kotakkan pekerjaan menjadi dua klasifikasi besar antara pekerjaan yang bergengsi dan pekerjaan yang tidak memiliki gengsi untuk dipamerkan atau dibicarakan kepada orang lain.

Bayangkan jika ada seseorang dengan tingkat narsisme tinggi yang kebetulan menduduki sebuah jabatan yang lumayan mentereng, kemudian di saat kumpul keluarga ia menjadi "piala" kebanggaan bagi keluarganya, menjadi pusat pembicaraan keluarganya pada saat itu, apa tidak terbang tinggi itu egonya saat itu? 

Glorifikasi pekerjaan ini ada, menurut saya hanyalah untuk memberi makan orang-orang egois dan narsis seperti itu.

Hai, pekerja keras, apapun pekerjaanmu, selamat ya, karena kamu sudah memiliki satu anugerah besar yang Tuhan sediakan untukmu. Apapun pekerjaanmu, kamu sudah berhasil memenangkan sebuah keadaan tidak ideal yang hari-hari ini sedang banyak dialami oleh orang-orang seumuran saya.

Saya bukan penentang konsep hidup stabil dengan gaji tetap setiap bulannya, tidak. Saya pun mau jika diberi kesempatan untuk memiliki sebuah pekerjaan tetap yang menghasilkan uang bulanan dengan konstan. Saya pun mau, jika diberi kesempatan. Tetapi nyatanya hari-hari ini keadaan tidak senyaman gambaran orang-orang tua itu.

Zaman semakin maju, tetapi dunia kerja semakin suram saja rasanya. Di era serba komputerisasi seperti sekarang, semakin banyak perusahaan-perusahaan yang tidak menerima banyak karyawan karena menggunakan mesin untuk menggantikan banyak pekerja sekaligus.

Perkembangan teknologi lajunya tidak seiring dengan peningkatan kualitas SDM di Indonesia. Jika pun hari ini kita mampu mempelajari sebuah keahlian dalam waktu 1 tahun misalnya, program robot dengan AI di dalamnya akan semakin cepat mempelajari segala sesuatunya, bahkan lebih baik daripada manusia itu sendiri.

Lalu, jika sudah begini keadaannya, salahkah kami-kami ini yang mencoba mandiri, bermain-main dengan serba ketidakpastian hanya untuk sekadar menyambung hidup dan bukan untuk menjadi kaya? 

Maka maklumlah jika kami tidak memiliki banyak bahan obrolan mengenai pekerjaan kami, karena ya kalian yang tidak pernah bertanya kepada kami selayaknya kalian menanyakan hal yang sama ke saudara-saudara yang bergaji itu.

Maka dari itu, saya ingin katakan kepada semua orang yang karena pekerjaannya dianggap remeh oleh orang-orang di sekitarnya;

Sabar dan segera bangkitlah lagi. Kalian tidak boleh gagal dan jatuh tersungkur terus hanya karena ucapan orang lain yang kadang menyakitkan hati kalian perkara pekerjaan kalian. Bertahanlah, pilihan kalian sudah benar.

Glorifikasi pekerjaan harus segera kita musnahkan dari dalam pikiran kita dan generasi-generasi pendahulu. Karena menurut hemat saya, di saat kita memutuskan sesuatu dalam hidup, kita pasti telah memikirkan segalanya matang-matang. Maka tugas orang lain adalah untuk menghormati pemikiran dan keputusan kita, apapun pilihan jenis pekerjaannya.

Berhenti menilai orang lain hanya dari pekerjaannya, jabatannya di tempat kerja, apalagi hanya karena lambang dan nama perusahaan di seragam kerjanya. Setiap orang memiliki referensinya masing-masing, setiap pekerjaan memiliki kesulitan dan kemudahannya masing-masing, dan setiap pekerjaan, apapun pekerjaannya, ya itu adalah SEBUAH PEKERJAAN.

Tidak peduli berapa pun gaji atau bayaranmu setiap hari, bulan, atau tahunnya. Tidak peduli seberapa sering kamu pergi ke kantor atau hanya duduk-duduk setiap hari berjam-jam di depan monitor komputer di kamarmu membuat 1 atau 2 karya senimu, ya itu tetaplah SEBUAH PEKERJAAN!

Jangan pedulikan apa kata orang yang tidak bisa memberikanmu makan saat mentalmu sedang coba untuk diserang. Apapun pekerjaanmu, kamu adalah yang terbaik di bidangmu, dengan atau tanpa pernah menerima penghargaan dari atasan.

Tidak peduli apapun pekerjaanmu, nilaimu ada pada setiap ucapan dan tindakanmu, bukan baju seragam kerjamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun