Tetapi sayangnya, itu hanya terjadi pada anak-anak muda yang memang masih berada di pedesaan. Yang mana akses menuju ke sawah masih cukup mudah di sana. Lain lagi dengan kasus yang terjadi di kota-kota besar dan metropolitan seperti yang terjadi di Indonesia.
Semakin ke sini, entah kenapa semakin banyak orang-orang tua di desa yang mengajarkan anaknya untuk belajar dan setelah lulus sekolah pergi ke kota dengan tujuan untuk mencari kerja di kota. Memang, pasti ada tujuan dan harapan baik di balik semua pesan-pesan itu. Tetapi yang terjadi malah semakin lama sang anak jauh dari sawah dan desanya, semakin terbuai ia dengan kemudahan dan kenikmatan hidup di kota, semakin ia lupa akan budaya gotong royongnya dan akhirnya menjadi orang yang juga individualis pada akhirnya.
Lho, bukankah tadi dikatakan jika tidak perlu mengajarkan anak menanam padi untuk menumbuhkan gotong-royong?
Memang, benar. Di awal-awal masa mudanya mungkin ia masihlah pemuda yang sama seperti saat ia di desa dulu. Tetapi seiring pengalaman hidupnya di perantauan, tidak punya siapa-siapa, jatuh dan bangun benar-benar ia rasakan dan obati sendiri, ia melihat orang disekitarnya acuh dengan kehidupan sekitarnya termasuk dirinya. Maka muncullah naluri alami manusia untuk beradaptasi menyesuaikan keadaan sekitarnya.
Coping Mechanism-nya mengajarkannya untuk bisa mengatasi semuanya sendiri dan akhirnya menggerus naluri gotong royong yang diwariskan orangtuanya. Begitu terus siklus itu akan berulang sampai kepada anak cucunya kemudian, sampai akhirnya Indonesia menjadi Indonesia yang sekarang kita tahu.
Profesi pertanian semakin ditinggalkan, lahan-lahan sawah dijual ke pengembang properti, manusia-manusianya semakin individualis. Kita pada akhirnya menganggap diri kita harus sekuat baja, harus bisa melakukan semuanya sendirian jika ingin terus merasakan semua kenikmatan yang ditawarkan oleh kota.
Miris bukan? Negara yang dulunya terkenal negara agraria, negaranya para penanam padi yang gotong royongnya tersohor sangat tinggi, lambat laun semakin individualis dan akhirnya untuk bisa makan nasi rutin saja kita kesulitan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H