Di Indonesia, kita terbiasa saling bergotong royong dalam berbagai hal. Memang budaya saling tolong menolong ini mulai jarang kita lihat di kota-kota besar yang hidupnya lebih banyak di tempat kerja dan rumah-rumahnya memiliki pagar yang tinggi-tinggi. Tetapi setidaknya jika kita bepergian atau liburan ke daerah-daerah pedesaan yang masih asri dan jauh dari hiruk pikuk kota, kita akan melihat banyak orang yang masih saling bergotong-royong memanen padi di sawah, bapak-bapak saling bantu membangun pos ronda, atau setiap sabtu-minggu tetangga-tetangga sebelah rumah sibuk ikut membantu menyiapkan acara kawinan tetangga lainnya di ujung jalan.
Budaya-budaya gotong royong ini sempat menjadi sangat tersohor dan menjadi buah perbincangan bagi orang-orang luar negeri yang pernah datang ke Indonesia, khususnya turis-turis yang berasal dari benua belahan barat sana. Ya, di negara-negara benua barat seperti Amerika, Jerman, dan Kanada misalnya, mereka kagum akan kebersamaan yang mereka lihat dari orang-orang Indonesia yang mereka temui.
Tidak hanya Indonesia, sebenarnya, budaya bergotong royong masih bisa kita temui beberapa di negara-negara benua timur lainnya seperti China, Philipina, Malaysia, bahkan Jepang. Meskipun 'rasa' kebersamaan mereka tidak sekuat di Indonesia, tetapi kebiasaan bergotong-royong atau melakukan satu pekerjaan secara bersama-sama beramai-ramai itu adalah akibat dari masih adanya satu tumbuhan di negara-negara timur itu. Tanaman yang mampu mempersatukan banyak orang itu ialah padi.
Menurut penelitian yang dibuat oleh para ilmuwan gabungan baru-baru ini, menanam padi atau yang biasa oleh orang Jawa disebut nyawah (pergi ke sawah) adalah salah satu faktor yang menyebabkan masih tingginya tingkat kolektifitas masyarakat suatu daerah, terutama di daerah-daerah benua timur.
Di benua barat sana, sangat amat jarang orang-orang bule itu menanam padi. Pertanian padi masih tetap ada di barat sana, misalkan kita ambil contoh di benua Amerika, mereka punya beberapa pertanian padi di daerah Georgia, Carolina, Texas, Louisiana, dan California. Tetapi sebagaimana kita ketahui, makanan pokok orang-orang Amerika mayoritas adalah roti. Roti terbuat dari tepung gandum, yang mana membuat Anda akan kesulitan mencari padi tentunya di sana.
Lalu apa hubungannya perbedaan pola bercocok tanam dan makanan sehingga menciptakan divergensi budaya? Sekelompok ilmuwan dan psikolog yang berasal dari AS dan China dalam sebuah jurnal ilmiah baru-baru ini mengemukakan teori bahwa secara historis, masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada pertanian cenderung memiliki budaya kolektif. Sedangkan masyarakat yang mayoritas bertani gandum, sebaliknya, lebih invidualis.
Alasannya terletak pada perbedaan cara dan usaha yang dibutuhkan untuk memanen kedua tanaman panganan pokok ini. Seperti yang sudah kita ketahui bersama, mengusahakan sebuah lahan persawahan yang begitu luas tidak mungkin membutuhkan hanya satu orang saja untuk bisa membuatnya berhasil.
Sebuah lahan sawah setidaknya membutuhkan jalur irigasi, alat bajak, belum lagi jika alat bajaknya masih yang tradisional seperti di beberapa desa di Indonesia kita masih membutuhkan hewan ternak untuk menariknya, memupuk tiap jengkal tanahnya, sampai memanen hasilnya kita membutuhkan banyak orang untuk setidaknya sawah tersebut berhasil dan bisa dinikmati hasilnya. Tidak mungkin mengerjakan sebuah sawah hanya seorang diri.
Lain cerita dengan petani-petani gandum. Bertani gandum tergolong cukup mudaah, apalagi jika cuaca dan suhu sekitarnya sedang 'bersahabat', kalaupun mereka butuh orang lain untuk membantu mereka, jumlahnya tidak akan sebanyak mereka yang menanam padi. Setidaknya begitulah tulis Thomas Talhelm, mahasiswa program Doktor jurusan Psikologi Budaya di University of Virginia yang memimpin penelitian mengenai teori perbedaan petani gandum dan padi ini.
Menariknya, masih menurut Talhelm, orang-orang tua yang dahulu bekerja di sawah tidak perlu mengajari anak-anak mereka untuk bercocok tanam padi untuk mengajarkan budaya kolektivitas ini. Anak-anak mereka konon akan menumbuhkan sendiri rasa kolektif ini di dalam diri mereka sendiri.
Tetapi sayangnya, itu hanya terjadi pada anak-anak muda yang memang masih berada di pedesaan. Yang mana akses menuju ke sawah masih cukup mudah di sana. Lain lagi dengan kasus yang terjadi di kota-kota besar dan metropolitan seperti yang terjadi di Indonesia.
Semakin ke sini, entah kenapa semakin banyak orang-orang tua di desa yang mengajarkan anaknya untuk belajar dan setelah lulus sekolah pergi ke kota dengan tujuan untuk mencari kerja di kota. Memang, pasti ada tujuan dan harapan baik di balik semua pesan-pesan itu. Tetapi yang terjadi malah semakin lama sang anak jauh dari sawah dan desanya, semakin terbuai ia dengan kemudahan dan kenikmatan hidup di kota, semakin ia lupa akan budaya gotong royongnya dan akhirnya menjadi orang yang juga individualis pada akhirnya.
Lho, bukankah tadi dikatakan jika tidak perlu mengajarkan anak menanam padi untuk menumbuhkan gotong-royong?
Memang, benar. Di awal-awal masa mudanya mungkin ia masihlah pemuda yang sama seperti saat ia di desa dulu. Tetapi seiring pengalaman hidupnya di perantauan, tidak punya siapa-siapa, jatuh dan bangun benar-benar ia rasakan dan obati sendiri, ia melihat orang disekitarnya acuh dengan kehidupan sekitarnya termasuk dirinya. Maka muncullah naluri alami manusia untuk beradaptasi menyesuaikan keadaan sekitarnya.
Coping Mechanism-nya mengajarkannya untuk bisa mengatasi semuanya sendiri dan akhirnya menggerus naluri gotong royong yang diwariskan orangtuanya. Begitu terus siklus itu akan berulang sampai kepada anak cucunya kemudian, sampai akhirnya Indonesia menjadi Indonesia yang sekarang kita tahu.
Profesi pertanian semakin ditinggalkan, lahan-lahan sawah dijual ke pengembang properti, manusia-manusianya semakin individualis. Kita pada akhirnya menganggap diri kita harus sekuat baja, harus bisa melakukan semuanya sendirian jika ingin terus merasakan semua kenikmatan yang ditawarkan oleh kota.
Miris bukan? Negara yang dulunya terkenal negara agraria, negaranya para penanam padi yang gotong royongnya tersohor sangat tinggi, lambat laun semakin individualis dan akhirnya untuk bisa makan nasi rutin saja kita kesulitan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI