Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sedikit bicara, banyak menulis.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Normalisasi Jam Kerja Berlebihan Harus Dihentikan

31 Oktober 2023   12:12 Diperbarui: 31 Oktober 2023   16:30 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Andrea Piacquadio | www.pexels.com

Saya rasa hampir semua orang pernah merasakan perasaan tidak nyaman dan canggung, ketika kita telah selesai mengerjakan pekerjaan kita dan ternyata teman-teman kita belum selesai dengan pekerjaan mereka. Ingin segera pulang, sungkan dengan teman-teman. Ingin pamitan dengan atasan, beliau saja masih betah duduk teleponan di ruangan. Jadi serba salah, bukan?

Tentu saya juga pernah berada di posisi seperti itu. Sebagai anak baru di sebuah perusahaan tempat saya bekerja dulu, saya pernah menyelesaikan pekerjaan saya lebih dulu daripada senior-senior saya di kantor. Karena memang sebagai anak baru, ya pekerjaan saya belum banyak. Tetapi saat saya mengintip meja-meja sebelah ke meja senior saya, dia masih dengan tegangnya memilah-milah data di microsoft excel-nya.

Inginnya saya tegur, sekalian ingin bertanya, apakah saya sudah boleh pulangg, mengingat jam juga sudah menunjukkan pukul 5:30 saat itu. Tetapi karena tidak enak, maka saya pura-pura masih mengerjakan pekerjaan saya tanpa berani menegur siapa-siapa di ruangan itu. 

Saat itu memang akhir bulan dan saya baru tahu suasana kerja di akhir bulan di perusahaan ini memang bisa dibilang selalu seperti ini. Tegang, mencekam, tidak kondusif seperti hari-hari biasanya.

Akhirnya karena semua orang lembur, ya saya jadi ikut lembur, walaupun sebenarnya ya saya tidak mengerjakan apa-apa lagi saat itu. Jadilah itu hari pertama saya bekerja dan hari pertama saya lembur tanpa dibayar.

Sampai akhirnya kami mendengar suara pintu ruangan atasan terbuka dan tertutup, kami melihat beliau lewat di samping meja kami, baru lah semua orang menarik nafas lega dan rasanya kepribadian mereka semua berubah di depan mata saya saat itu juga. Yang tadinya hening dan tegang, kini satu per satu mereka mengangkat tas kerjanya dan berlarian ke arah tangga untuk pergi cepat-cepat dari gedung itu. Ngomong-ngomong, itu sudah pukul 9 malam saat atasan pergi keluar dari ruangannya.

Diakui atau tidak, budaya dan aturan kerja tidak tertulis ini seperti terjadi dan diamini oleh semua karyawan dan perusahaan. Mau perusahaan kecil, perusahaan multinasional, atau di tempat-tempat kerja yang sederhana sekelas toko material pinggir jalan pun seperti mengiyakan "norma" aneh satu ini.

Saya sebut aneh karena, ya, memang aneh. Sejak kapan seseorang harus duduk diam berjam-jam di depan pekerjaannya yang sudah selesai ia kerjakan hanya untuk menunggu atasannya pergi, barulah mereka menjadi manusia biasa lagi. Sejak kapan kepergian atasan menjadi sebuah lonceng penentu jam kerja sebuah perusahaan?

Dalam tata tertib perusahaan, dalam kontrak kerja, dalam penjelasan HRD saat perekrutan, seharusnya sudah dijelaskan mengenai jam masuk kerja dan pulang setiap harinya. Lalu kenapa kita tidak bisa mengacu pada peraturan yang sudah kta setujui itu?

Saya adalah orang yang bisa dibilang anti terhadap lembur terus-menerus, saya juga lebih senang pulang tenggo (akronim: teng, langsung go). Karena bagi saya perusahaan hanya membayar saya pantas untuk berkerja selama jam kerja, biasanya 8-9 jam kerja, kan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun