Mohon tunggu...
Gitakara Ardhytama
Gitakara Ardhytama Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Sedikit bicara, banyak menulis.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Makan Elit, Beberes Sendiri Sulit

30 Oktober 2023   18:21 Diperbarui: 30 Oktober 2023   18:52 627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stiker Kampanye Budaya Beberes Sendiri Setelah Makan. Sumber gambar: X.com

Budaya membersihkan sampah sisa makanan kita sendiri pada tahun 2018 yang lalu mulai dikampanyekan oleh sebuah restoran ayam goreng cepat saji yang terkenal di Indonesia. Ya, KFC sepengetahuan saya adalah resto cepat saji pertama yang memulai gerakan bersih-bersih mandiri ini. Budaya bersih-bersih mandiri setelah makan, atau yang oleh KFC disebut Budaya Beberes, adalah sebuah ajakan kepada konsumen KFC pada saat itu untuk membersihkan sendiri sisa-sisa makanan yang sudah selesai mereka makan ke dalam tempat sampah besar yang telah disiapkan oleh pihak KFC.

Maka sejak saat itu di seluruh gerai-gerai KFC di seluruh Indonesia kita bisa melihat stiker-stiker dengan tulisan-tulisan yang intinya mengajak kita untuk membereskan sendiri sisa makanan kita di tempel di dinding-dinding dan meja makan mereka. Ajakan untuk mengumpulkan dan membuang sampah kita ke tempat sampah besar berwarna merah dan diletakkan di beberapa titik di restoran mereka.

Seperti kata pepatah, sebuah ajakan kebaikan, belum tentu ditangkap baik pula oleh orang yang mendengarkannya. Begitulah yang terjadi saat itu di lapangan. Pro dan kontra bergema dengan sangat keras, baik yang mereka sampaikan langsung, maupun yang hanya tertumpah di laman sosial media.

Bagi sebagian orang yang keberatan akan kampanya bersih-bersih mandiri itu, mereka menganggap bahwa bersih-bersih meja yang sudah kita pakai itu adalah menjadi salah satu bagian tugas dari sang waiter atau cleaning service tempat makan itu.

"Kami kan sudah bayar, kenapa pula harus disuruh membersihkan sampahnya", "keenakan waiternya dong, masa mereka sudah digaji masih harus kita juga yang membersihkan mejanya." Umumnya dua kalimat inilah yang dijadikan alasan oleh pihak-pihak yang kontra untuk menentang adanya gerakan itu.

Padahal, jika kita mau lebih sedikit kritis dan teliti, di film-film Hollywood yang sering kita tonton, atau di iklan-iklan fast food di luar negeri yang bisa kita lihat di Youtube, jika ada adegan selesai makan, kita akan melihat mereka membereskan meja makannya, memilah dan membuang sendiri sisa makanan yang ada di atas meja makan dan membawanya keluar menuju tong sampah sebelum pulang. Atau jika tidak ditayangkan secara langsung, biasanya mereka akan menunjukkan bahwa meja yang mereka tinggalkan itu sudah bersih. Tanda bahwa mejanya dibersihkan sendiri oleh pelanggan sebelumnya. Ya, kesadaran semacam ini sudah lama dilakukan di luar negeri. Di Amerika, sebuah negara yang kita kira orang-orangnya tidak lebih beradab daripada orang di negara kita. Selain Amerika, budaya seperti ini juga sudah lama diterapkan masyarakat Jepang, Singapura, Australia, dan banyak negara lainnya.

Saya mencoba menggali lebih dalam ke brand saingan mereka. Ternyata saya mendapati hal yang serupa, tapi tidak sama. Pada gerai-gerai McD misalnya, di gerai mereka terdapat banyak kotak-kotak sampah yang ditempatkan di beberapa titik di dalam resto McD. Bedanya, pihak McD hanya membiarkan kotak sampah ini seperti apa adanya. Tidak ditempeli dengan tulisan-tulisan dengan jenis dan warna font yang mencolok. Tidak ada ajakan-ajakan untuk membuang sampahmu sendiri di sana. Polos saja berwarna kayu seperti biasa.

Dari hasil wawancara yang saya baca di beberapa media online dan televisi saat itu, pihak manajemen McD Indonesia sendiri mengaku sebenarnya juga sudah menerapkan hal serupa, tetapi mereka baru menerapkannya kepada internal karyawan-karyawannya saja, bukan kepada pelanggan. Saat ditanya rencana mengenai penerapan gerakan serupa di restorannya, mengutip dari kompas.com, pihak McD Indonesia kabarnya belum akan melakukan itu kepada para pelanggannya saat itu.

Tidak disebutkan apa alasan mereka enggan menerapkan gerakan serupa, tetapi pihak manajemen McD Indonesia tidak menampik kenyataan bahwa sebenarnya kebiasaan serupa sudah biasa dilakukan oleh para pelanggan McD di luar negeri, tetapi bukan karena diminta, melainkan karena memang sudah menjadi kebaiasaan mereka di sana membuang sendiri sisa bekas makanan mereka.

Nah, dari poin-poin penjelasan di atas kita bisa menangkap dengan jelas bahwa ada perbedaan nilai moral yang berlaku di masyarakat kita dan dunia dalam hal beberes sendiri setelah makan. Bagi rata-rata pelanggan KFC dan McD di luar negeri, membersihkan sisa makanan mereka adalah tanggung jawab mereka sendiri. Sedangkan dalam persepsi mayoritas orang Indonesia, bebersih setelah makan adalah hal yang tidak perlu dilakukan oleh pelanggan. Karena mereka mengira mereka telah membayar makanan dan sekaligus uang jasa bersih-bersih oleh pihak restoran.

Padahal jika kita teliti dari sisi konsep dan flow service-nya, tempat-tempat makan semacam KFC dan McD, serta beberapa merek fast food lain dengan konsep bisnis yang hampir sama, jelas-jelas mereka menerapkan konsep self service, sejak dari awal memesan sampai dengan selesai makan. Mulai dari mengantri untuk memesan SENDIRI menunya di depan kasir, bukannya diantarkan buku menunya ke meja makan, menampilkan besar-besar menu yang mereka punya di atas kepala si kasir agar kita bisa memilih SENDIRI menu yang mana yang kita mau, membawa SENDIRI nampan yang berisi makanan dan minuman pilihan kita, mencari SENDIRI meja yang kosong dan bersih untuk kita menaruh makanan dan makan di sana, mengambil SENDIRI saus, sambal dan sedotannya, termasuk membereskan SENDIRI meja makan yang sudah selesai kita pakai. Jadi, DIMANA YANG KALIAN SEBUT WAITER ITU BERADA?? Tidak pernah ada jabatan waiter di tempat-tempat seperti itu.

Bagaimana? Baru sadar kalau kita sebenarnya didorong mandiri oleh mereka sejak dari awal? Itulah kenapa perkara membersihkan meja yang sudah selesai kita pakai juga adalah termasuk tanggung jawab kita sendiri sebagai orang yang memakai meja itu sebelumnya. Ingat, meja yang kita pakai ini nantinya juga akan dipakai oleh orang lain untuk makan juga di situ. Apa yang akan terjadi kalau sisa makanan kita masih berserakan di atas mejanya? Pelanggan setelah kita akan kesulitan mencari meja yang bersih dan pelanggan di samping meja kita akan hilang nafsu makannya jika melihat sisa makanan kita berantakan di meja itu.

Toh, kalau kita perhatikan, piring-piring makanan cepat saji sekarang kebanyakan menggunakan bahan karton, kan? Mungkin tujuannya ya supaya bisa langsung dibuang setelah kita pakai. Dari sini saja kita sudah bisa mengira-ngira bahwa pihak resto tidak memiliki atau menghilangkan staff bagian cuci piring di kitchen mereka. Entah tujuannya adalah memang ingin melengkapi kampanye kebiasaan beberes sendiri ini, atau untuk mengurangi penggunaan air yang semakin langka, atau memang hanya sekedar alasan efisiensi biaya saja. Entahlah, tetapi yang saya kira ya, begitu.

Tapi itu kan berlaku kalau di tempat makan cepat saji seperti itu, kalau di tempat makan yang biasa, seperti resto-resto pinggir jalan bagaimana?

Justru kalau di restoran atau tendaan pinggir jalan kita jauh lebih dimudahkan lagi, karena biasanya mereka sendiri memang yang akan mencuci piringnya. Jadi kita hanya tinggal menumpuk saja piring dan gelas-gelas kotor yang sudah kita pakai di tengah-tengah meja makan. Tujuannya, agar karyawan yang tugasnya mencuci piring nanti akan lebih mudah dan cepat membersihkan mejanya. Mereka tinggal angkat gelas dan piring yang sudah kita tumpuk di tengah meja dengan satu kali gerakan. Saya dan keluarga saya biasa menyebut kebiasaan ini sebagai "tumpuk tengah." Lebih mudah mereka melakukannya, lebih cepat mereka membersihkannya, lebih banyak orang yang akan datang dan makan di sana. Mempermudah urusan orang lain juga dapat pahala, kan? Lalu kenapa berat sekali melakukannya?

Mental pembeli adalah raja sudah terlalu usang buat saya pribadi. Kita memang raja karena punya uang, tetapi jika semua penjual yang ada tidak mau menjual barangnya kepada kita, uang yang kita punya bisa apa?

Jika memang masih saja ada pihak yang kontra hanya karena tidak mau di cap ikut-ikutan budaya barat, karena kita punya adat ketimuran sendiri yang beda, bla, bla, bla... Maka saya tidak tahu lagi harus menjelaskannya bagaimana lagi. Tidak mau ikut-ikutan budaya barat, tetapi makan makanan dengan konsep ala resto-resto negara barat. Bahkan brand-brand lokal sejenis juga banyak yang menggunakan konsep pelayanan yang sama dengan resto-resto barat itu.

Jadilah masyarakat yang cerdas, jangan malah denial. Akui saja jika memang mereka baik di satu sisi, tiru kebiasaan mereka jika itu hasilnya baik, jika keluarannya positif. Kita pun menjadi bangsa yang seperti sekarang pun sedikit banyak ada campur tangan akulturasi budaya barat. Bahkan petinggi-petinggi negara ini banyak melakukan diskusi dan studi ke negara barat untuk di amati, ditiru dan dimodifikasi jika ada hal-hal baik dari barat sana.

Jadilah orang yang peka terhadap orang di sekitarmu. Dunia ini tidak melulu tentang dirimu sendiri. Perkara beberes setelah selesai makan adalah tentang menghargai orang lain setelah kita. Adab itu dipelajari dari manapun dan dari siapapun.

Jangan lupa ya, setelah makan, buang sampahmu dan sikap masa bodohmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun