Berapa jam dalam satu hari kalian bekerja? Berapa lama kalian diberi waktu istirahat selama jam kerja? Setelah pulang kerja, apa yang kalian lakukan? Apakah kalian sering mampir ke coffee shop, ketemu teman-teman dan ngobrol di luar pekerjaan kalian? Atau kalian tipe yang fuck the entire world and just go to sleep? Attaaauu….kalian masih akan mengerjakan pekerjaan dari kantor kalian dan mengerjakannya di laptop atau PC pribadi?Â
Saat kalian sudah pulang ke rumah, seberapa sering kalian masih memikirkan pekerjaan di kantor yang kalian tinggalkan? Pernahkah kalian menerima protes dari anak, istri, suami, atau keluarga kalian betapa kalian tidak punya waktu untuk mereka?
Jika kalian agak kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka bisa jadi kalian mengalami ketidakseimbangan dalam mengatur kehidupan pribadi dan tanggungjawab pekerjaan kalian. Keseimbangan ini biasa disebut worklife balance. Apa itu worklife balance?Â
Ya simpelnya, worklife balance adalah kemampuan diri untuk membedakan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan hal-hal di luar pekerjaan. Yang paling utama dan sering kita dengar di Indonesia adalah soal keseimbangan waktu kerja dan waktu untuk bersosialisasi di luar pekerjaan.Â
Mereka yang memiliki worklife balance yang baik biasanya dapat mengatur kapan waktu untuk bekerja dan kapan waktu untuk keluarga, mereka dapat menempatkan diri mereka dengan baik sesuai perannya di dunia kerja dan kehidupan sosialnya.Â
Sayangnya, keadaan yang semakin tidak kondusif, perekonomian yang sangat fluktuatif, pandemi, dan kenaikan inflasi jadi alasan utama mengapa para pekerja di era modern ini semakin kehilangan keseimbangan hidupnya, karena dipaksa oleh buruknya keadaan untuk berkerja semakin keras untuk dapat memenuhi hidupnya sehari demi sehari.
 Ditambah glorifikasi tentang lembur tanpa bayaran yang dilabeli dengan loyalitas, dalih menanamkan kecintaan pada perusahaan dan gimmick ‘keluarga kedua’ yang rasanya semakin hari semakin kencang saja digaungkan. Menjadikan atasan dengan mudahnya menyita waktu para pekerjanya, hanya untuk sekedar mengejar target pribadinya agar terlihat ‘lebih mengkilap’ di mata direksi, sedangkan para bawahan tetap tak terperhatikan keadaannya.
Sempat di suatu waktu saya melihat dan mendengar banyak berita dan konten-konten di media, baik media mainstream maupun internet yang memuji-muji budaya kerja di negara-negara lain semisal Jepang, Korea Selatan, dan China.Â
Mereka yang mendukung gagasan ‘lembur adalah loyalitas’ selalu membanding-bandingkan budaya kerja di Indonesia dan negara-negara luar tersebut.Â
Padahal faktanya jika kita mau menggali lebih dalam, negara-negara yang dulunya terkenal dengan etos dan budaya kerjanya itu pun sekarang ini sedang mengalami krisis pada dunia kerjanya.Â