Kita bangga tinggal di negeri yang penuh beragam suku, adat, ras, dan agama. Kita pun bangga akan keberagaman di masyarakat kita, kita pun bangga memiliki semboyan nasional, yakni Bhineka Tunggal Ika. Apakah Kompasiana tahu rakyat Sumatera Utara zaman dahulu memiliki banyak simbol yang jarang diketahui banyak orang termasuk anak muda saat ini? Suku Batak merupakan salah satu suku yang besar di Sumatera Utara, ya… begitu pula akan banyak simbolnya dan memiliki filosofi yang sangat dalam. Simbol suku Batak cukup terbilang unik dan khas. Garis ukiran khasnya itu mencerminkan kehidupan tradisional dan kepercayaan suku Batak.
Kita dapat mengetahui sebuah simbol khas suku Batak yang mempunyai cerita cukup unik, padahal simbol yang dimaksud hanyalah sebuah pohon. Dalam realitanya, pohon tersebut bukan hanya sekadar pohon, karena pohon tersebut merupakan tongkat dari Raja Batak terdahulu dan pohon itu bernama Pohon Hariara Sundung di Langit yang artinya Hariara Bertajuk di Langit.
Nenek moyang terdahulu pernah bercerita bahwa pohon Hariara tersebut merupakan tongkat Raja Sisimangaraja I yang ditancapkan ke tanah lalu semakin lama tongkat itu bertumbuh menjadi sebuah pohon... kira – kira apakah Kawan Kompasiana percaya akan hal ini ?... Tak hanya sampai bertumbuh menjadi pohon saja, ternyata apabila ada rantingnya yang patah, maka dapat diartikan kalau salah satu anggota keluarga dari Sisingamangaraja akan meninggal dunia. Apabila daunnya terbalik layu, maka masyarakat sekitar mempercayai jika akan ada bencana alam yang akan melanda mereka, seperti paceklik yang disebabkan oleh musim kemarau berkepanjangan.
Dalam kosmologi masyarakat Batak, Hariara Sundung di Langit itu dibayangkan sebagai pohon mahabesar dan mahatinggi yang mengisi ‘Tiga Dunia’ yakni, Banua Toru (Dunia Bawah. Dunia Dalam / Perut Bumi), Banua Tonga (Dunia Tengah, Dunia Manusia), dan Dunia Ginjang (Dunia Atas, Langit, Dunia Dewa Tertinggi dan Dewa Tinggi). Akarnya yang menghujam jauh ke Dunia Bawah, batangnya yang tegak lurus ke atas di Dunia Tengah, serta tajuknya yang membentang (madeha, sangkamadeha) di Dunia atas (Langit). Dikarenakan pohon tersebut ‘tumbuh’ menembus tiga lapis banua (dunia), maka Hariara Sundung di Langit itu merupakan ‘Poros Jagad’ yang menghubungkan Dunia Bawah tempat Dewa Tanah meraja, Dunia Tengah tempat manusia hidup, dan Dunia Atas (Langit) tempat dewa – dewa tertinggi bersemayam.
Beberapa seniman masa kini pun baru memulai memperdalam karya dari suku Batak ini sebagai sumber inspirasi mereka. Mereka juga menggunakan simbol – simbol tersebut sebagai kreasi tato, lukisan, dan karya lainnya untuk melestarikan dan menyebarluaskan warisan budaya dari suku Batak.
Dari kreasi suku Batak, ternyata juga berdampak dalam sisi budayanya, berikut 3 poin pentingnya, yakni:
- Upacara Adat
Dalam adat istiadat suku Batak, ukiran rumit nan unik ini mengambil peran penting dalam upacara adat. Mereka menggunakan simbol ini sebagai tarian, musik, dan prosesi keagamaan suku Batak.
- Pakaian Tradisional
Tak hanya digunakan dalam upacara adat, ternyata lambang suku Batak ini juga kerap kali dijahit pada pakaian tradisional suku Batak. Selain menunjukkan ciri khas, ini juga bisa dijadikan sebagai simbol kebanggaan.
- Seni Rupa
Pohon khas suku Batak ini juga sering dijadikan bahan inspirasi dalam seni rupa tradisional Batak. Ukiran itu dijadikan sebagai elemen dekoratif pada patung kayu, logam, dan kerajinan tangan lainnya.
Selain berdampak dari sisi budaya, ternyata ada perannya juga lho dalam kehidupan bermasyarakat, contohnya seperti:
- Pemertahanan Warisan Budaya