Mohon tunggu...
Gita Fauziah
Gita Fauziah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

stay safe semua!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pendekatan Humanisme sebagai Pelerai Konflik Papua

24 Mei 2022   18:44 Diperbarui: 17 Juli 2023   19:00 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ditulis Oleh:

Andiko Nanda Fadilah, Gita Fauziah Rahma dan Salwadia Zahrah

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta

Abstrak

Papua sebagai bagian dari Indonesia memiliki hak atas kedaulatannya sendiri. Dimana masyarakat Papua mendapatkan hak yang sama seperti di daerah lainnya, seperti hak untuk hidup damai, sejahtera, bahkan hak untuk mendapat perlindungan negara. Namun faktanya, perseteruan antara pemerintah dengan kelompok pro kemerdekaan Papua membubarkan hak-hak yang semestinya di dapatkan masyarakat Papua. Konflik Papua di mulai sejak tahun 1963 dan dipelopori oleh gerakan kelompok pro Papua Merdeka. Tiga tahun kemudian tepatnya pada 1969 pemungutan suara di lakukan guna memisahkan mereka yang menginginkan papua merdeka dan yang tidak mendapat keadilan. 

Pemisahan Papua menghasilkan pembentukan daerah otonomi di bagian barat Irian. Terlepas dari itu semua, masyarakat Papua merasa kurang puas atas apa yang mereka dapat. Karena penduduk Papua masih jauh dari kata sejahtera dan berada diambang kemiskinan. Akses menuju sarana prasarana transportasi, pelayanan sosial, ekonomi, dan pemerintahan pun tidak ada. Padahal secara geografis, tanah Papua memiliki luas wilayah dan sumber daya alam yang lebih banyak dari pulau terpadat. 

Ketidakadilan yang melanda Papua menimbulkan adanya gerakan Pro Papua Merdeka, dimana telah banyak terjadi kasus pelanggaran HAM. Konflik antara kelompok Pro Papua Merdeka dengan apparat pemerintah (TNI dan Polisi) justru semakin mengancam keamanan negara. 

Penduduk Papua yang tidak bersalah, ikut menjadi korban konflik. Menurut Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa, konflik di Papua tidak lagi bisa diselesaikan dengan pendekatan nonmiliter dan pensinkronan pengerahan apparat keamanan. Pasalnya jika menggunakan pendekatan non-militer, maka tidak perlu menerjunkan personal TNI dan Polisi diwilayah sekitar konflik. Oleh karena itu pendekatan humanisme dengan mengedepankan kemanusiaan dianggap mampu menjadi solusi terbaik atas konflik yang terjadi. Selain itu, pendekatan humanism yang dipilih harus dilakukan secara terus menerus dan berkala kepada kelompok terkait.

Keyword: Humanisme, konflik, Papua

Banyak sekali kasus rasisme yang terjadi di Papua dan yang menimpa masyarakat Papua ketika sedang tidak berada di Papua. Masih teringat dengan jelas di pikiran kita kejadian rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019 silam yang disebut karena ada oknum mahasiswa yang memprovokasi dengan membakar bendera merah putih dan membuangnya di selokan, 

padahal tidak ada bukti yang kuat akan hal itu (CNN, 2020). Aparat bersama ormas reaksioner lantas mengepung asrama yang menjadi tempat tinggal mahasiswa tersebut, aparat menembakkan gas air mata, kata-kata rasis dari ormas pun dilontarkan.

Mahasiswa di asrama tersebut dikepung oleh lebih tepatnya dipersekusi, dimaki dengan ucapan rasisme dan diancam oleh oknum TNI, aparat kepolisian, Satpol PP, dan ormas reaksioner selama lebih dari 24 jam. Mahasiswa yang berjumlah 43 orang itupun merasa sesak karena lemparan gas air mata, 

hingga pada akhirnya mahasiswa tersebut tetap digelandang di Polrestabes untuk penyelidikan lebih lanjut. Itu adalah contoh kasus yang tersuarakan dengan baik dan menjadi perhatian seluruh masyarakat berkaat perangkat jurnalistik yang bekerja dengan baik, tetapi masih sangat banyak pandangan rasis lainnya yang tidak terlihat oleh mata dan terdengar oleh telinga kita.

Perbedaan ras di Indonesia memang tidak terelakkan, terutama masyarakat Papua dengan masyaraat Indonesia lain di bagian barat. Hal tersebut membentuk sejarah panjang tercatatnya Papua menjadi wilayah Indonesia. 

Firdausi (2019) menjelaskan bahwa Papua akan menjadi bom waktu di masa yang akan datang karena eksistensi Papua tidak lepas dari terselenggaranya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 yang menghasilkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. 

Walaupun hasilnya nampak memberi keuntungan bagi Indonesia, namun proses yang menyertainya tidak selalu lancar.

Belanda ingin memberikan kemerdekaan sendiri pada Papua saat itu karena perbedaan ras antara Papua dengan wilayah jajahan Hindia Belanda yang lain, sementara Indonesia bersikukuh untuk seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. 

Pembentukan negara berdasarkan ras memang lumrah pada saat itu karena identik dengan kesamaan bangsa dan keturunan. Oleh karena itu dengan alasan homogenitas, Belanda ingin memerdekakan Papua menjadi negara sendiri.

Beberapa tokoh bangsa yang terlibat dalam penentuan wilayah Indonesia pada awal kemerdekaan pun terdikotomi menjadi pro dan kontra. Sitompul (2019) menjabarkan pendiri bangsa yang terlibat dalam sidang BPUPKI 10-11 Juli 1945.

 Mohammad Yamin berpendapat bahwa Indoesia harus meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara, Malaya, Timor Portugis, hingga Papua. 

Menurutnya secara historis, politik, dan geopolitik wiayah-wilayah tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Soekarno mengutip kitab Negarakertagama yang dibuat Mpu Prapanca dan setuju bahwa Indonesia sama dengan wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit yang melebar hingga ke pulau Papua. Menurut Soekarno, wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera hingga Papua adalah karunia Tuhan. 

Sementara Hatta datang dengan pemikiran rasional yang sama sekali berbeda dengan Soekarno dan Yamin. Hatta berpendapat bahwa dengan menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, maka lebih logis untuk lebih memilih Malaya dan Borneo Utara bersama dengan bekas wilayah Hindia Belanda sebagai keseluruhan Indonesia.

Hatta berpendapat bahwa masyarakat Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu. Dalam perhitungan Hatta, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka, sehingga bagi Hatta adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau ditangani saja dengan Jepang. 

Terjadi kebuntuan. Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat membuat opsi pemungutan suara, yakni: 1. Seluruh Hindia Belanda; 2. Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua; 3. Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara tanpa Papua. Hasilnya mayoritas yang hadir memilih opsi nomor dua.

Menurut sejarawan Belanda, Pieter Drooglever, penentuan masa depan Papua yang diforumkan dalam BPUPKI bukan wadah yang representatif karena tidak ada seorang pun wakil dari Papua yang menyampaikan suaranya di forum tersebut.

 Penentuan masa depan Papua yang tergantung dalam forum yang tidak representatif tersebut membuat keputusan tersebut bias karena Indonesia juga dipandang sebagai imperialisme baru dalam memasukkan Papua ke dalam Indonesia, dengan fakta yang mengejutkan bahwa tidak ada yang mewkilkan suara masyarakat Papua.

Hingga pada saat ini, banyak masyarakat yang tidak memanusiakan manusia Papua. Merebaknya diskriminasi berbasis rasial adalah contoh ketidaksiapan Indonesia menerima dan berjalan beriringan dengan perbedaan. 

Persekusi dan pembatasan akses yang dilakukan oleh aparatur negara seperti yang diterima mahasiswa Papua di Surabaya menjadi bukti bahwa kebencial karena ras masih sangat mengakar di masyarakat Indonesia dan yang membuat nahas adalah aparat pertahanan dan keamaan juga termasuk di dalamnya.

Peran Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Upaya Pencegahan Rasisme

Pendidikan merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman, sikap, dan keterampilan serta perkembangan diri seseorang, bukan hanya bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan. Di dalam pendidikan terdapat pembelajaran ilmu pengetahuan sosial yang sangat berguna sebagai acuan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. 

Pembelajaran IPS tidak hanya berbicara tentang kontekstual dari pelajaran sosial melainkan juga pembelajaran yang memiliki kompleksivitas tinggi dimana mengkolaborasikan antara ilmu-ilmu sosial dengan fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat sehingga mudah dipelajari dan diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.

Rasisme yang terjadi di Papua merupakan salah satu fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Hal tersebut menjadi suatu "tantangan" dalam dunia pendidikan yang memiliki peran dalam upaya pencegahan rasisme. Pembelajaran IPS memiliki cakupan materi yang mendukung pencegahan rasisme hal itu dikarenakan pembelajaran IPS tidak hanya berbicara mengenai aspek kognitif melainkan berbicara juga mengenai aspek praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala dan masalah sosial masyarakat yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing-masing. 

Oleh karena itu, rasisme dapat dilihat sebagai sebuah permasalahan sosial yang dapat dijadikan sebagai sumber penunjang pembelajaran. 

Pemahaman akan rasisme pada akhirnya akan memberikan sebuah gambaran mengenai upaya pencegahan yang dapat dilakukan baik melalui penggunaan metode pembelajaran, penyesuaian materi pembelajaran dan integrasi nilai-nilai karakter.

Merumuskan visi dan misi sekolah dengan baik merupakan langkah awal dalam upaya pencegahan adanya rasisme. Dengan memiliki visi misi yang baik seperti "Membentuk Karakter Peserta Didik dengan Baik" dapat berpengaruh pada kegiatan atau program kerja sekolah sebagai upaya dalam mencapai visi misi tersebut. 

Sehingga di dalam kegiatan atau program kerja sekolah tersebut terdapat implementasi bagaimana membentuk karekater anak dengan baik, salah satunya dengan cara meluruskan pandangan peserta didik yang dibekali pemahaman bahwa kita diciptakan berbeda-beda namun tidak baik untuk membeda-bedakan satu dengan yang lain.

Pelaksanaan pembelajaran IPS dalam upaya pencegahan rasisme dapat dilaksanakan melalui penyisipan budaya sekolah maupun karakter yang terdapat didalam progam penguatan pendidikan karakter (PPK) dimana pengintegrasian progam tersebut dapat dilihat melalui tiga tahap pembelajaran yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi. 

Pada tahap perencanaan dapat dilihat melalui perangkat pembelajaran seperti rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP); pada tahap pelaksanaan dapat dilihat melalui cara guru dalam penyampaian pembelajaran, interaksi yang terjadi, dan respon peserta didik; terakhir pada tahap evaluasi pengintegrasian PPK dapat dilihat melalui lembar penilaian sikap yang termuat di dalam RPP (Rencana Pelaksanaan pembelajaran), melalui pengamatan langsung, melalui pihak terkait seperti wali kelas, guru BK, pembina pondok, dan wali murid. 

Dengan beberapa upaya tersebut, diharapkan peserta didik sebagai penerus bangsa memiliki karakter yang baik dan jauh dari paham rasisme dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Sehingga paham rasisme akan semakin menyempit, sehingga menciptakan kehidupan yang harmonis termasuk di Papua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun