Sementara Hatta datang dengan pemikiran rasional yang sama sekali berbeda dengan Soekarno dan Yamin. Hatta berpendapat bahwa dengan menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, maka lebih logis untuk lebih memilih Malaya dan Borneo Utara bersama dengan bekas wilayah Hindia Belanda sebagai keseluruhan Indonesia.
Hatta berpendapat bahwa masyarakat Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu. Dalam perhitungan Hatta, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka, sehingga bagi Hatta adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau ditangani saja dengan Jepang.Â
Terjadi kebuntuan. Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat membuat opsi pemungutan suara, yakni: 1. Seluruh Hindia Belanda; 2. Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua; 3. Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara tanpa Papua. Hasilnya mayoritas yang hadir memilih opsi nomor dua.
Menurut sejarawan Belanda, Pieter Drooglever, penentuan masa depan Papua yang diforumkan dalam BPUPKI bukan wadah yang representatif karena tidak ada seorang pun wakil dari Papua yang menyampaikan suaranya di forum tersebut.
 Penentuan masa depan Papua yang tergantung dalam forum yang tidak representatif tersebut membuat keputusan tersebut bias karena Indonesia juga dipandang sebagai imperialisme baru dalam memasukkan Papua ke dalam Indonesia, dengan fakta yang mengejutkan bahwa tidak ada yang mewkilkan suara masyarakat Papua.
Hingga pada saat ini, banyak masyarakat yang tidak memanusiakan manusia Papua. Merebaknya diskriminasi berbasis rasial adalah contoh ketidaksiapan Indonesia menerima dan berjalan beriringan dengan perbedaan.Â
Persekusi dan pembatasan akses yang dilakukan oleh aparatur negara seperti yang diterima mahasiswa Papua di Surabaya menjadi bukti bahwa kebencial karena ras masih sangat mengakar di masyarakat Indonesia dan yang membuat nahas adalah aparat pertahanan dan keamaan juga termasuk di dalamnya.
Peran Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial dalam Upaya Pencegahan Rasisme
Pendidikan merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman, sikap, dan keterampilan serta perkembangan diri seseorang, bukan hanya bagaimana cara untuk memperoleh pengetahuan. Di dalam pendidikan terdapat pembelajaran ilmu pengetahuan sosial yang sangat berguna sebagai acuan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.Â
Pembelajaran IPS tidak hanya berbicara tentang kontekstual dari pelajaran sosial melainkan juga pembelajaran yang memiliki kompleksivitas tinggi dimana mengkolaborasikan antara ilmu-ilmu sosial dengan fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat sehingga mudah dipelajari dan diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Rasisme yang terjadi di Papua merupakan salah satu fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat. Hal tersebut menjadi suatu "tantangan" dalam dunia pendidikan yang memiliki peran dalam upaya pencegahan rasisme. Pembelajaran IPS memiliki cakupan materi yang mendukung pencegahan rasisme hal itu dikarenakan pembelajaran IPS tidak hanya berbicara mengenai aspek kognitif melainkan berbicara juga mengenai aspek praktis dalam mempelajari, menelaah, mengkaji gejala dan masalah sosial masyarakat yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan masing-masing.Â