Mohon tunggu...
Giska Maulidya
Giska Maulidya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya

Mahasiswa Sosiologi yang selalu tertarik menggali lebih dalam dinamika sosial di sekitar kita. Saat ini, saya sedang mendalami berbagai isu sosial, dengan harapan bisa berkontribusi pada perubahan yang lebih baik. Melalui tulisan saya berbagi pandangan, analisis, dan cerita fenomena sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menggali Faktor Sosial dalam Tingginya Kasus HIV di Kalangan Pria Indonesia

10 Desember 2024   23:50 Diperbarui: 22 Desember 2024   19:22 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber:BBC NEWS Indonesia)

HIV/AIDS adalah salah satu isu kesehatan global yang sangat kompleks dan sulit penanganannya. Virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh dan membuat pengidapnya rentan terhadap berbagai penyakit serius. Hingga saat ini, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan HIV sepenuhnya, tetapi dengan pengobatan yang tepat, ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dapat hidup normal dan sehat. Namun, tantangan yang dihadapi ODHA tidak hanya soal kesehatan, melainkan juga diskriminasi, stigma sosial, dan ketidakadilan struktural.

Di Indonesia, epidemi HIV menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, khususnya di kalangan pria. Pria yang berhubungan seks dengan pria (PSP), pengguna narkoba suntik (Penasun), dan pria heteroseksual dengan banyak pasangan seksual menjadi kelompok paling rentan terhadap infeksi. Fenomena ini mengungkapkan bahwa penyebaran HIV bukan hanya persoalan medis tetapi juga mencerminkan masalah sosial yang lebih dalam. Melalui perspektif Sosiologi kesehatan dapat dilihat bagaimana norma sosial, stigma, dan ketimpangan memengaruhi perilaku kesehatan individu. 

Stigma adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh ODHA. Stigma ini sering kali muncul dari kesalahpahaman tentang cara penyebaran HIV dan stereotip yang mengaitkannya dengan perilaku "tidak bermoral" seperti hubungan seksual di luar nikah atau penggunaan narkoba. Dalam masyarakat Indonesia, ODHA kerap dipandang sebagai individu yang tidak bertanggung jawab, yang membuat mereka menghadapi pengucilan sosial, diskriminasi di tempat kerja, hingga kesulitan mengakses layanan kesehatan.

Erving Goffman (dalam Aisyah, Suryaningtyas, dan Sidiq,  2024) dalam teorinya tentang stigma menjelaskan bahwa stigma adalah label negatif yang diberikan oleh masyarakat kepada individu atau kelompok tertentu, yang mengakibatkan mereka dianggap "berbeda" atau "kurang bernilai." Dalam HIV, stigma ini menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi ODHA. Akibatnya, banyak ODHA yang memilih untuk menyembunyikan status mereka, bahkan menghindari tes HIV karena takut identitas mereka diketahui. Banyak ODHA yang enggan membuka status kesehatan mereka karena takut dikucilkan, bahkan oleh keluarga mereka sendiri. Kondisi ini memperparah penyebaran virus karena kasus-kasus baru tidak terdeteksi dan tidak mendapatkan pengobatan yang diperlukan. 

Misalnya, seorang pria muda di Jakarta yang terdiagnosis HIV menceritakan bahwa ia kehilangan pekerjaannya setelah rekan kerjanya mengetahui statusnya sebagai ODHA. Pengalaman seperti ini menunjukkan bahwa stigma tidak hanya merugikan ODHA secara psikologis tetapi juga memengaruhi stabilitas ekonomi mereka. Akibatnya, banyak ODHA yang memilih untuk hidup dalam kerahasiaan, yang pada akhirnya menghambat upaya pencegahan dan pengobatan.

Norma maskulinitas juga memiliki pengaruh besar terhadap perilaku kesehatan pria, termasuk dalam HIV. Dalam budaya patriarki, maskulinitas sering kali dikaitkan dengan kekuatan, dominasi, dan kemampuan seksual. Sayangnya, norma-norma ini dapat mendorong pria untuk mengambil risiko yang lebih besar dalam hubungan seksual mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Fleming, DiClemente,  dan Barrington (2016) menunjukkan bahwa ada tiga aspek norma maskulinitas yang memengaruhi perilaku seksual pria: dorongan seksual yang dianggap tak terkendali, kemampuan untuk tampil secara seksual, dan kekuasaan atas pasangan. Dalam Indonesia, norma-norma ini sering kali tercermin dalam perilaku seperti enggan menggunakan kondom karena dianggap "tidak jantan" atau mengurangi kenikmatan. Selain itu, pria yang memiliki banyak pasangan seksual sering kali dipandang lebih "macho," meskipun perilaku ini meningkatkan risiko penularan HIV.

Akses terhadap layanan kesehatan juga mempengaruhi risiko penularan HIV. Akses terhadap layanan kesehatan adalah hak dasar setiap individu, tetapi kenyataannya banyak pria di Indonesia yang kesulitan mendapatkan layanan pencegahan dan pengobatan HIV. Ketimpangan ini sering kali terjadi karena faktor geografis, ekonomi, dan stigma. Di daerah pedesaan atau terpencil, fasilitas kesehatan sering kali kurang memadai untuk menangani kasus HIV. Misalnya, banyak klinik di daerah ini tidak memiliki tenaga medis yang terlatih untuk melakukan tes HIV atau memberikan pengobatan antiretroviral (ARV). Akibatnya, banyak pria yang tinggal di daerah terpencil tidak mendapatkan layanan kesehatan yang mereka butuhkan. Selain itu, biaya pengobatan sering kali menjadi kendala, terutama bagi pria dari kelompok ekonomi rendah. Meskipun pemerintah telah menyediakan ARV secara gratis, banyak ODHA yang menghadapi biaya tambahan untuk transportasi, konsultasi medis, dan pengobatan lain yang terkait. Faktor ini membuat mereka enggan atau tidak mampu mengakses layanan kesehatan secara rutin.

Menurut teori strukturasi Anthony Giddens (dalam Nashir, 2012) individu dipengaruhi oleh struktur sosial di sekitar mereka, tetapi mereka juga memiliki agen untuk mengubah struktur tersebut. Dalam HIV, ini berarti bahwa upaya untuk meningkatkan akses layanan kesehatan harus dilakukan melalui perubahan pada tingkat sistem, seperti memperluas cakupan layanan kesehatan di daerah terpencil, sambil juga memberdayakan individu untuk lebih proaktif dalam menjaga kesehatan mereka. Program seperti klinik keliling atau layanan kesehatan berbasis teknologi (telemedicine) dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan ini.

Gaya hidup memainkan peran besar dalam peningkatan risiko HIV di kalangan pria Indonesia. Salah satu jalur transmisi utama adalah penggunaan narkoba suntik (Injecting Drug Users/IDU). Praktik berbagi jarum suntik di kalangan pengguna narkoba suntik secara signifikan meningkatkan risiko penularan HIV terutama di kalangan pria muda yang menggunakan narkoba sebagai pelarian dari tekanan hidup. Namun, masalah ini tidak hanya tentang perilaku individu, ada faktor sosial yang lebih besar yang memengaruhi keputusan mereka. Menurut penelitian Rhodes dan Simic (2005) risiko penyebaran HIV di kalangan pengguna narkoba tidak hanya terkait dengan perilaku individu, tetapi juga dengan lingkungan sosial mereka. Dengan mayoritas pengguna narkoba suntik adalah pria, kelompok ini menjadi salah satu yang paling rentan terhadap infeksi.

Sebagian besar pengguna narkoba suntik berasal dari kelompok yang terpinggirkan secara sosial dan ekonomi. Mereka sering kali hidup dalam kemiskinan, tidak memiliki akses pendidikan yang memadai, dan merasa tidak memiliki peluang untuk memperbaiki kehidupan mereka. Dalam kondisi seperti ini, narkoba jenis suntik menjadi pelarian dari rasa frustrasi dan ketidakberdayaan. Namun, stigma terhadap pengguna narkoba membuat mereka enggan untuk mencari bantuan. Banyak dari mereka yang khawatir bahwa jika mereka mencari pengobatan mereka akan dihakimi oleh masyarakat atau bahkan oleh tenaga medis.

Pendekatan berbasis komunitas yang melibatkan pengguna narkoba suntik dalam desain dan pelaksanaan program dapat membantu mengatasi masalah ini. Misalnya, Program Intervensi Berbasis Masyarakat (IBM) yang diterapkan di Kelurahan Citeureup, Kota Cimahi menunjukkan bagaimana pendekatan berbasis komunitas dapat membantu mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba berbagai bentuk seperti suntik terutama di kalangan masyarakat yang berada di daerah perdesaan atau kelurahan. Meskipun Kelurahan Citeureup termasuk dalam kategori Bersinar (Bersih Narkoba), tantangan terkait penyalahgunaan narkoba suntik tetap ada. Bagi individu yang mengalami masalah penyalahgunaan narkoba suntik dengan tingkat ringan, IBM merupakan solusi yang dirancang untuk membantu mereka pulih, sambil memberdayakan masyarakat setempat untuk berperan aktif dalam pemulihan.

IBM di Citeureup tidak hanya bertujuan untuk mengatasi penyalahgunaan narkoba berbagai bentuk seperti suntik, tetapi juga untuk meningkatkan kemandirian bekerja bagi individu yang terlibat dalam program ini. Salah satu aspek penting dari program ini adalah peran agen pemulihan (AP), yang bertindak sebagai fasilitator dan pendidik. Mereka membantu klien untuk mengembangkan keterampilan kerja dan sikap kemandirian, sehingga mereka dapat lebih mandiri secara ekonomi dan sosial setelah rehabilitasi.

Penelitian yang dilakukan Rizqi (2024) untuk mengevaluasi pelaksanaan IBM di Citeureup menunjukkan bahwa program ini berhasil menciptakan dampak positif terhadap kemandirian klien, meskipun terbatas oleh faktor biaya. Agen pemulihan berperan penting dalam membimbing klien untuk mempersiapkan mereka menghadapi dunia kerja, dengan cara memberikan pelatihan keterampilan dan dukungan moral. Hasil dari program ini menunjukkan bahwa meskipun klien mulai bekerja secara paruh waktu, mereka menunjukkan kemajuan signifikan dalam hal kemandirian dan pengelolaan kehidupan mereka.

Selain itu, mobilitas tinggi yang terkait dengan pekerjaan tertentu juga menjadi faktor risiko utama. Pekerja seperti sopir truk, pekerja migran, dan pelaut sering kali menghadapi keterbatasan akses informasi kesehatan. Dalam situasi ini, praktik hubungan seksual berisiko, seperti tidak menggunakan kondom, menjadi semakin umum. Keterbatasan waktu, rasa kesepian, dan akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan di tempat kerja mereka menjadi kombinasi yang memicu tingginya angka infeksi HIV di kelompok ini.

Referensi:

Aisyah, V. N., Suryaningtyas, A. A., & Sidiq, M. (2024). Urban Dramaturgy: Self-Presentation and Stigma in Silver Men Street Performances. Komuniti: Jurnal Komunikasi dan Teknologi Informasi, 16(2), 284-302.

Fleming, P. J., DiClemente, R. J., & Barrington, C. (2016). Masculinity and HIV: Dimensions of Masculine Norms that Contribute to Men's HIV-Related Sexual Behaviors. AIDS and behavior, 20(4), 788--798. https://doi.org/10.1007/s10461-015-1264-y   

Nashir, H. (2012). Memahami Strukturasi dalam Perspektif Sosiologi Giddens. Jurnal Sosiologi Reflektif, 7(1), 1-9.

Rhodes, T., & Simic, M. (2005). Transition and the HIV risk environment. BMJ (Clinical research ed.), 331(7510), 220--223. https://doi.org/10.1136/bmj.331.7510.220 

Rizqi, N. Q. (2024). PROGRAM INTERVENSI BERBASIS MASYARAKAT (IBM) UNTUK MEMBANGUN SIKAP KEMANDIRIAN BEKERJA KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA: Studi Pada Program Badan Narkotika Nasional (BNN) di Kelurahan Citeureup Kota Cimahi (Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan Indonesia).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun