Dalam buku Mustafa Kemal Atatürk: Leadership, Strategy, Conflict (2013:58), Sejarawan Edward J. Erickson mencatat tiga tuntutan Atatürk kepada parlemen Turki.
Pertama, ia meminta dibubarkannya departemen Hukum Kanonik. Pembubaran departemen itu meruntuhkan segala aturan negara yang berdasarkan hukum agama. Kedua, ia meminta dunia akademik diatur secara tunggal. Aturan ini kemudian mencabut izin pendidikan bagi sekolah-sekolah agama. Terakhir, ia menuntut agar khalifah dibubarkan. Tiga tuntutan ke parlemen ini menghasilkan sejarah baru. Pada 3 Maret 1924, Turki Usmani, salah satu kekhalifahan Sunni Islam tertua dan terbesar, resmi dinyatakan bubar. Setelah itu, Kemal sendiri menuliskan rancangan konstitusi bagi republik barunya. Rancangan ini mengambil bentuk presidensial ala Amerika yang dipadukan dengan sistem parlemen Eropa yang dianggapnya kuat. Menyadari kekuasaannya rawan gangguan, Kemal secara sistematis menyingkirkan tokoh nasionalis lain yang berpotensi menjadi pesaing politiknya. Di antara nama-nama tersebut adalah Kâzım, seorang tokoh pahlawan perang; Rauf, tokoh Angkatan Laut; Komandan Militer Ali Fuat, dan tokoh parlemen Dr. Adnan. Beberapa tokoh penting lainnya diusir dari Turki satu per satu. Masalah besar muncul lagi pada Februari 1925. Kala itu etnis Kurdi di bawah pimpinan Sheik Said melakukan pemberontakan untuk menuntut dikembalikannya otoritas Khalifah. Bagi mereka, Turki yang sekuler adalah sebuah kesalahan. Mustafa Kemal dan gerakan nasionalisnya dinilai kebablasan menjalankan pemerintahan baru. Menanggapi pemberontakan ini, Kemal mengutus Ismet, orang kepercayaannya, untuk memimpin 52.000 tentara guna mengatasi pemberontakan 15.000 orang kurdi yang hanya menggunakan persenjataan ringan. Pemberontakan Kurdi pun dengan mudah diredam.
Lalu pada masa kini, terdapat kritik keras mengenai Pemerintah Indonesia yang berencana untuk menjadikan Mustafa Kemal Ataturk menjadi salah satu nama jalan di Jakarta. Rencana itu menuai kritik dari sejumlah pihak, seperti MUI dan PKS.
Akan tetapi saya selaku sebagai penulis menilai presiden pertama Turki itu merupakan sosok pemimpin yang kontroversial karena ia telah mengacak-acak ajaran agama Islam. Banyak sekali hal-hal yang dia lakukan yang bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Alquran dan assunnah. Selain dari itu, saya juga menilai Mustafa Kemal Ataturk telah menerapkan kebijakan dengan menjauhkan ajaran agama Islam dari praktik kenegaraan. Mustafa Kemal Attaturk ini adalah seorang tokoh yang sangat sekuler dimana ia tidak percaya ajaran agama yang dapat menjadi solusi dan membawa Turki menjadi negara maju.
Terlebih lagi, saya meyakini masyarakat Indonesia akan kecewa apabila pemerintah benar menjadikan Mustafa Kemal Ataturk sebagai salah satu nama jalan di Ibu Kota Jakarta karena bagaimana mungkin sebuah negara yang bernama Indonesia yang berdasarkan Pancasila di mana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa lalu pemerintahnya akan menghormati seorang tokoh yang sangat sekuler dan melecehkan agama Islam yang menjadi agama dari mayoritas rakyat di negeri kita ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H