Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Memprediksi Misinformasi di Pemilu 2024

4 Mei 2023   22:44 Diperbarui: 5 Mei 2023   08:00 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dice oleh Jonathan Petersson/pexels.com

Misinformasi atau umum dikenal hoaks, menjadi momok menakutkan di kala Pemilu. Sejak 2017 di masa Pilkada DKI, kemudian tahun 2019 hoaks Pemilu bahayanya bukan lagi hisapan jempol. Polarisasi opini dan kelompok masih terasa sampai saat ini. Hoaks serupa dengan kemasan berbeda juga masih beredar.

Hoaks saat Pemilu dari Ratna Sarumpaet menjadi pusara tak terlupa. Hoaks audio terkait 7 juta surat suara tercoblos dalam kontainer juga membuat gaduh publik. Pada saat hoaks ini viral, semua orang langsung tuduh. Walau pada akhirnya bisa diklarifikasi. Publik pun tenang, tapi ada hal yang terlupa.

Bahwasanya media sosial masih menjadi medium pamungkas propaganda hoaks Pemilu. Sejak saat itu, hoaks seolah tiada habisnya di linimasa. Dan kini menjelang Pemilu 2024, publik pun harap-harap cemas sebaran hoaks. Apalagi saat polarisasi politik publik masih ada, atau mungkin sengaja dijaga.

Polarisasi terkait afiliasi politik di medsos kini semakin jelas. Ada gerakan masif, terstruktur, dan sistematis (TSM) men-trendingkan satu informasi. Walau di tahun Pemilu sebelumnya indikasi TSM ini malu-malu diakui. Dengan mulai "panasnya" persaingan antar capres dan partai pendukungnya, bisa terjadi kampanye all out nanti, termasuk hoaks.

Dari Pemilu sebelumnya, dan kejadian pada Pemilu di lain negara, banyak pelajaran bisa dipahami. Ada prediksi misinformasi yang bisa menjadi panduan publik agar waspada dan tangguh. Prediksi ini didasarkan pada kategori jenis dan pilihan platform.

Pada kategori jenis, hoaks politik menjadi yang paling populer. Hoaks ini akan mungkin menyerang capres atau tokoh dan mereka yang terafiliasi. Bisa jadi partai pendukung, tokoh partai, sampai influencer pendukung. Akan terjadi pertarungan sengit kubu yang sudah menjadi korban polarisasi politik.

Kategori kedua adalah hoaks prestasi dan karya tokoh. Hoaks jenis ini seringkali dijejali fakta, namun seringnya dipelintir. Sehingga tercipta framing negatif pada tokoh dan karya tokoh, baik capres, dari partai, dan influencer pendukung. Publik yang terkecoh framing macam ini jelas mendiskreditkan tokoh yang dimaksud.

Kategori ketiga adalah hoaks SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) terkait tokoh dalam Pemilu. Mulai dari etnis, cara beribadah, sampai kedekatan dengan agama tertentu menjadi sasaran tembak narasi hoaks lawan. Hoaks SARA cepat memprovokasi opini negatif publik, tapi cukup berbahaya jika menjadi bumerang.

Kategori keempat adalah isu insidental tokoh dan yang terafiliasi. Jika capres tersandung satu isu viral, ada kemungkinan hoaks menyerang. Entah itu plintiran dari pernyataan, foto atau video yang diedit, sampai kontra-narasi negatif bisa muncul. Untuk kategori ini, tim sukses atau simpatisan harus standby di linimasa dan "kreatif".

Pada kategori platform, Facebook bisa menjadi medan subur hoaks diciptakan. Walau Meta, induk dari Facebook bekerja keras memoderasi dan cek fakta informasi terkait Pemilu. Namun grup tertutup dan demografi pengguna, yang berasal kebanyakan dari Baby Boomers, menjadi masalah pelik terkait distribusi hoaks.

Platform kedua adalah WhatsApp. Walau aplikasi chat lain ada, WhatsApp masih menjadi yang terpopuler. Dengan enkripsi end-to-end, isi pesan jelas terlindung. 

Begitu banyaknya grup WhatsApp terbuka dan tertutup, pesan hoaks sulit sekali dideteksi sumbernya. Apalagi dilaporkan jika sebuah pesan bisa jadi sudah di-forward ratusan kali.

Platform ketiga adalah Twitter. Upaya preventif Twitter memberikan fitur centang biru berbayar diharap mengurangi akun bot. Ada juga fitur konteks dan cek fakta pada tweet. Namun sepertinya kurang cukup, karena linimasa dan trending masih tergantung diskusi yang ramai. Karena yang ramai bisa jadi juga hoaks.

Platform keempat adalah TikTok. Platform hiburan TikTok sangat populer di banyak negara. Menurut kabar, Presiden terpilih Filipina mengandalkan TikTok saat kampanye dulu. Dengan FYP (trending) yang cukup mudah dan konten yang sangat mudah diunduh dan di-share, hoaks dari TikTok jelas sangatlah potensial.

Publik jelas harus tetap tangguh menghadapi hoaks kala Pemilu. Pemerintah pun wajib menjadi wasit yang jurdil mengawasi linimasa. Platform medsos harus bertindak independen dan kolaboratif menjaga linimasa kondusif. Organisasi masyarakat sebaiknya makin intens dan luas mengampanyekan edukasi cek fakta.

Publik sudah cukup jengah bahkan hoaks di masa sekarang. Banyak orang sudah menjadi korban. Dari sakit sampai putus pertemanan, dampak hoaks jelas dirasakan. Jangan sampai Pemilu serupa kata yang mirip, yaitu pemilu atau pembuat pilu.

Salam,

Wonogiri, 04 Mei 2023

10:44 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun