Platform kedua adalah WhatsApp. Walau aplikasi chat lain ada, WhatsApp masih menjadi yang terpopuler. Dengan enkripsi end-to-end, isi pesan jelas terlindung.Â
Begitu banyaknya grup WhatsApp terbuka dan tertutup, pesan hoaks sulit sekali dideteksi sumbernya. Apalagi dilaporkan jika sebuah pesan bisa jadi sudah di-forward ratusan kali.
Platform ketiga adalah Twitter. Upaya preventif Twitter memberikan fitur centang biru berbayar diharap mengurangi akun bot. Ada juga fitur konteks dan cek fakta pada tweet. Namun sepertinya kurang cukup, karena linimasa dan trending masih tergantung diskusi yang ramai. Karena yang ramai bisa jadi juga hoaks.
Platform keempat adalah TikTok. Platform hiburan TikTok sangat populer di banyak negara. Menurut kabar, Presiden terpilih Filipina mengandalkan TikTok saat kampanye dulu. Dengan FYP (trending) yang cukup mudah dan konten yang sangat mudah diunduh dan di-share, hoaks dari TikTok jelas sangatlah potensial.
Publik jelas harus tetap tangguh menghadapi hoaks kala Pemilu. Pemerintah pun wajib menjadi wasit yang jurdil mengawasi linimasa. Platform medsos harus bertindak independen dan kolaboratif menjaga linimasa kondusif. Organisasi masyarakat sebaiknya makin intens dan luas mengampanyekan edukasi cek fakta.
Publik sudah cukup jengah bahkan hoaks di masa sekarang. Banyak orang sudah menjadi korban. Dari sakit sampai putus pertemanan, dampak hoaks jelas dirasakan. Jangan sampai Pemilu serupa kata yang mirip, yaitu pemilu atau pembuat pilu.
Salam,
Wonogiri, 04 Mei 2023
10:44 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H