Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hoaks Paska Gempa di Medsos sebagai Social Hazard

8 Februari 2023   23:12 Diperbarui: 9 Februari 2023   16:33 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Building remain at Idlib, Syria oleh Ahmed Akacha (pexels.com)

Bela sungkawa mendalam tulus ditujukan kepada korban dan penyintas bencana gempa bumi di Turki. Gempa dahsyat berkekuatan 7,8 dan 7,4 magnitudo telah meluluhlantakkan kota Kahramanmaras dan Hatay. Ribuan korban jiwa pun masih tertimbun di antara reruntuhan bangunan. 

Yang tak kalah memprihatinkan adalah hoaks yang beredar paska gempa Turki. Nirempati dan tanpa cek fakta, netizen banyak yang terlanjur membagikan hoaks gempa Turki. 

Kegentingan yang dirasakan bisa berubah jadi kepanikan jika hoaks tersebar. Social hazard yang terjadi pun bisa berpotensi memakan korban jiwa tidak perlu.

Hazard atau ancaman perlu dipahami sebelum melakukan tindakan manajemen bencana. Setelah menemukan jenis dan karakteristik dari ancaman dapat disusun perencanaan dan penanggulangan bencana yang tepat dan efektif. Menurut jenis sumbernya, hazard dibagi ke dalam tiga karakteristik.

Pertama adalah natural hazard disebabkan oleh fenomena alam seperti tsunami, tanah longsor, banjir, dan gunung berapi. 

Kedua adalah man-made hazard akibat kelalaian manusia. Contohnya, bocornya fasilitas pembangkit energi, pembuangan limbah, perang dsb. Sedangkan social hazard merupakan bahaya sebagai akibat dari tindakan manusia yang anti sosial.

Selain kepanikan, social hazard juga dapat memakan korban jiwa. Seperti contoh riil pada masa pandemi Covid-19 lalu. Banyak hoaks bersliweran di medsos menawarkan obat alternatif sampai menolak vaksinasi. Bagi mereka yang percaya hoaks macam ini, sudah barang tentu ada dampak moril, fisik, bahkan kehilangan nyawa.

Hoaks paska gempa Turki kemarin pun ramai, baik di medsos atau aplikasi percakapan. Beberapa contohnya seperti berikut:

  • Usai gempa, dikabarkan pembangkit listrik tenaga nuklir meledak hebat. Padahal faktanya, video ledakan yang dicatut sebuah tweet adalah ledakan di kota Beirut Lebanon tahun 2020.
  • Hoaks lain adalah kabar munculnya tsunami di pantai selatan Turki setelah gempa. Tampilan video tsunami di postingan Facebook cukup dahsyat. Walau faktanya, video tsunami itu memang terjadi di Durban, Afrika Selatan tahun 2017 akibat angin topan. 

Saat gempa, waspada boleh. Tertipu hoaks jangan. Bayangkan dari perspektif penduduk kota Kahramanmaras mendengar PLT nuklir meledak dan ada tsunami data. Kebingungan yang berujung kepanikan bisa saja terjadi. Seumpamanya, sudah jatuh tertimpa tangga. Jelas ada oknum nirempati di medsos yang ingin memperkeruh keadaan.

Bagi orang di luar Turki, mereka segera mencari kabar terbaru gempa Turki via medsos. Informasi tentang korban yang menyentuh hati, membuat banyak orang berempati. Informasi kegempaan seperti gempa susulan, tsunami, atau man-made hazard lain menjadi pelajaran bersama.

Beberapa berita sensasional pun mencoba mengelabui netizen demi klik. Sering juga, beberapa netizen tertipu. Mereka merasa harus membagikan berita ini demi menjadi pertama dan populer. Tanpa perlu cek fakta dan mencari sumber terpercaya, like, heart, comment, RT, sebanyaknya adalah tujuan.

Karena keprihatinan dan pelajaran, video hoaks paska gempa sering khilaf disebarkan. Generasi rentan digital merasa keluarga dan anak cucunya mengambil hikmah dari video tersebut. 

Share dan forward pun dilakukan. Ketika diingatkan videonya bodong, mereka jadi tersinggung. Ada juga rasa sungkan generasi melek digital membeberkan faktanya.

Gempa dan dampaknya social hazard-nya jangan dibuat main-main. Seorang ibu rumah tangga di Sidoarjo ditangkap polisi gegara sebar hoaks gempa. Melalui akun Facebooknya, ia menyebarkan hoaks prediksi gempa 8,9 di Pulau Jawa. Polisi juga menangkap 12 orang yang menyebarkan hoaks munculnya tsunami paska gempa di Palu tahun 2018.

Perlunya penguatan cek fakta terkait mitigasi bencana menjadi kian mendesak. Indonesia yang juga merupakan negara rawan gempa, harus tangguh melawan hoaks paska gempa. Memulai mempelajarinya pun sejatinya bisa dilakukan situs tularnalar, misalnya. Cek fakta di kala bencana, bisa menyelamatkan nyawa.

Salam,

Wonogiri, 08 Februari 2023

11:12 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun