Pada pihak ketiga, baik influencer atau netizen lebih cenderung terdampak ringan. Seperti netizen salah tuduh yang akhirnya diam, influencer kadang merasa dampaknya sementara saja. Agar tidak disalahkan netizen, isu lain bisa diangkat. Cancel culture gagal yang dilakukan pihak ketiga lebih sering hilang dalam senyap.
Metode cancel culture memang lebih condong ke mayoritas. Demokratisasi diskusi untuk mendapatkan fakta, baik dari korban dan pihak yang dituduh tergantung kekuatan netizen atau influencer. Suara mayoritas adalah kunci. Baik fakta atau dusta yang ditampilkan korban, sentimen viral adalah yang terpenting.
Pada pihak tertuduh, lebih baik diam sejenak dan mengatur strategi. Menjadi sporadik, reaktif dan penuh amarah di medsos dapat menimbulkan masalah lain. Walau tidak bisa dipungkiri tidak ada orang yang suka dituduh atau disebar aibnya. Multi-perspektif netizen bisa menjadi framing yang berbahaya bagi pihak tertuduh.
Korban tentu menginginkan sentimen viral negatif pada pihak tertuduh. Netizen dan influencer pun, sayangnya, lebih senang menaikkan sentimen negatif untuk pengikutnya atau agar trending. Karena adagium bad news is good news digadai demi engagement akun atau trending.
Semoga kita tidak mudah terprovokasi dan menjadi netizen bijak.
Salam,
Wonogiri, 29 Januari 2023
12:34 am
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI