Netizen terbiasa membaca kalimat, viral dulu baru diurus, di linimasa medsos. Viral sudah menjadi the last resort dari masalah atau isu yang sulit mencari jalan keluar. Perhatian, keprihatinan, dan kemarahan netizen pada isu atau pelaku yang mempersulit korban adalah kunci.
Proses biar segera diurus yang diharapkan karena viral pada umumnya begini. Pertama, seorang korban ingin kasus peliknya diperhatikan netizen. Kedua, korban bisa men-tag atau me-mention tokoh penting/influencer. Ketiga, setelah influencer mendapatkan engagement tinggi dari kasus yang diangkat, trending didapatkan. Kelima, karena trending, media mainstream melirik, menginvestigasi, dan mengangkatnya jadi berita.
Dalam model viral dulu baru diurus ini juga melibatkan beberapa pihak. Pertama, seseorang atau organisasi yang tertimpa kasus. Mereka memiliki bantahan atau bukti mengklaim dirinya tidak bersalah. Mereka menginginkan keadilan, tanggung jawab, atau pun ganti rugi dari kasus yang menimpa. Namun ada juga pihak korban merekayasa kasusnya agar viral.
Pihak kedua adalah orang atau institusi yang dituduh melakukan kesalahan. Pihak tertuduh ini pada umumnya tidak menyangka kasusnya akan menjadi viral. Pihak tertuduh, jika benar melakukan kesalahan, akan mengklarifikasi atau meminta maaf. Jika menjadi fitnah atau rekayasa belaka, mereka akan mengambil jalur hukum.
Pihak ketiga adalah netizen dan/atau influencer. Pihak ketiga ini sifatnya resiprokal. Karena bisa jadi kasus yang ingin disoroti diangkat oleh netizen untuk kemudian diangkat influencer, selebtweet, selebgram, dsb. Bisa juga, pihak ketiga adalah netizen yang kemudian dibantu influencer agar kasus viral. Intinya, pihak ketiga inilah yang akan melambungkan kasus agar viral.
Pihak-pihak terlibat dalam kasus viral dulu baru diurus juga memiliki resiko bahaya masing-masing. Resiko ini akan mempertaruhkan aspek reputasi, identitas, jejak digital, bahkan kerugian finansial. Dari pihak-pihak yang terlibat, berikut beberapa resiko bahaya yang ditanggung.
Pada pihak korban kasus, identitas dan jejaring mendapat sorotan, baik positif dan negatif. Positifnya, kasus akan selesai dan netizen menunggu akhir drama kasus. Jika kasus terbukti hanyalah fitnah, reputasi korban ternoda. Jejaring korban 'abal-abal' ini akan ditelusur netizen. Akibat pada akun korban ini berupa RAS (report as spam), cyberbully, review bomb, sampai persekusi dunia nyata.
Dalam hal durasi, waktu pun menjadi taruhan bagi korban. Semakin lama kasusnya tidak viral, semakin putus asa bisa diselesaikan. Tak jarang, jika pelaku yang memiliki uang, pengaruh dan perangkat dapat mengubah trending yang memojokkan dirinya. Perang tagar atau trending bisa terjadi. Gabungan netizen dan pelaku lebih sering menang daripada pelaku.
Pada pihak pelaku, reputasi menjadi taruhan terbesar. Ketika reputasi hancur, akibatnya pada karir, kepercayaan, dan pendapatan bisa terhenti. Karena netizen mudah tergiring, baca terprovokasi, akibat seperti pihak korban bisa didapatkan. Sayangnya, kadang jikapun pihak pelaku dinyatakan tidak bersalah, netizen yang terlanjur menyerang malah terdiam.Â
Pelaku yang benar melakukan permasalahan biasanya akan bereaksi. Baik dengan langsung mengklarifikasi atau menyelidiki kasusnya. Tak jarang diperlukan upaya untuk memviralkan juga klarifikasi. Jika klarifikasi pelaku benar, dan korban telah salah tuduh ini yang luar biasa. Sering ada kesunyian percakapan komunal di linimasa pada kasus ini.
Pada pihak ketiga, baik influencer atau netizen lebih cenderung terdampak ringan. Seperti netizen salah tuduh yang akhirnya diam, influencer kadang merasa dampaknya sementara saja. Agar tidak disalahkan netizen, isu lain bisa diangkat. Cancel culture gagal yang dilakukan pihak ketiga lebih sering hilang dalam senyap.
Metode cancel culture memang lebih condong ke mayoritas. Demokratisasi diskusi untuk mendapatkan fakta, baik dari korban dan pihak yang dituduh tergantung kekuatan netizen atau influencer. Suara mayoritas adalah kunci. Baik fakta atau dusta yang ditampilkan korban, sentimen viral adalah yang terpenting.
Pada pihak tertuduh, lebih baik diam sejenak dan mengatur strategi. Menjadi sporadik, reaktif dan penuh amarah di medsos dapat menimbulkan masalah lain. Walau tidak bisa dipungkiri tidak ada orang yang suka dituduh atau disebar aibnya. Multi-perspektif netizen bisa menjadi framing yang berbahaya bagi pihak tertuduh.
Korban tentu menginginkan sentimen viral negatif pada pihak tertuduh. Netizen dan influencer pun, sayangnya, lebih senang menaikkan sentimen negatif untuk pengikutnya atau agar trending. Karena adagium bad news is good news digadai demi engagement akun atau trending.
Semoga kita tidak mudah terprovokasi dan menjadi netizen bijak.
Salam,
Wonogiri, 29 Januari 2023
12:34 am
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI