Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Langkah Jaga Etika Media Sosial untuk yang Bekerja

21 Januari 2023   23:54 Diperbarui: 23 Januari 2023   02:36 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Office Worker oleh Andre Piacquadio (pexels.com)

Kasus komentator bulu tangkis India Open 2023 dari stasiun TV swasta menyulut amarah netizen. Netizen mengkritik cara ia memandu pertandingan yang cenderung cari sensasi belaka tanpa esensi. Dibalas lewat postingan IG, yang kini sudah hilang, yang mengatakan bahwa pencinta bulu tangkis Indonesia kampungan dan tidak berpendidikan.

Beberapa kasus lain non-etis bersifat pribadi yang merusak karier profesional sering terjadi di medsos. Yang belum lama, pemecatan pegawai salah satu kampus swasta di Bandung yang menghina Presiden Joko Widodo. Atau kasus pengiriman surat keberatan seorang Legal General Manager produk outdoor pria ke baberapa YouTuber dianggap konyol dan tak tepat sasaran. 

Kasus supervisor yang mengomeli sambil memvideo karyawan magang karena tidak memberikan salam viral belum lama. Mungkin ia bermaksud mmberikan contoh buat pegawai magang lain, malah berujung diberi peringatan. 

Kasus lain, niatnya curhat soal gaji di medsos, pegawai swalayan malah dipecat. Si karyawan lupa tidak mengaburkan atau menghilangkan nama swalayan ia bekerja.

Banyak lagi kasus-kasus yang melibatkan pekerja dan tindakan non-etis di medsos. Dari kasus ini imbas ganda pun terjadi. Pertama merugikan pribadi pekerja itu sendiri. Kedua mencoreng reputasi perusahaan atau kantor si pekerja. Tentunya, tim komunikasi publik yang menjadi ujung tombak akan ketar-ketir menemukan kasus yang menimpa rekan kerjanya.

Media sosial memang tidak pernah tidur dan sepi dari sensasi. Netizen pun tidak mungkin komentar nyinyir, cari lawan debat dan cari sensasi. Pun, jejak digital negatif kita dari 10 tahun lalu tidak mungkin hilang dan dilacak siapa yang telah menyimpannya. Hal-hal ini adalah fakta dan sulit diubah.

Pekerja memiliki medsos pun juga hak dan fakta. Sebaiknya juga perusahaan tidak melarang pekerja berekspresi via medsos. Sebelum memahami tips dan trik menjaga etika pekerja di medsos, kita kenali dahulu bagaimana medsos berdampak kepada para pekerja.

Perilaku salah dan khilaf karena persoalan pribadi, reputasi perusahaan dapat terdampak. Bisa karena memang tidak sengaja melakukan salah di medsos. Atau juga difitnah dan disebarkan orang lain yang tidak suka. Seperti kasus pejabat fintech yang melakukan KDRT di Jakarta. Sigap, bekas perusahaan si pelaku langsung mengklarifikasi bahwa pelaku tidak lagi bekerja di sana.

Medsos profesional seperti LinkedIn menjadi rujukan awal mencari nama pekerja bermasalah di medsos. Platform populer lain seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan Twitter menjadi rujukan kedua. Netizen yang tahu tempat kerja seorang pekerja yang bermasalah biasanya akan 'bersilaturahmi' ke akunnya.

Kadang tempat kerja pun turut terseret kebringasan netizen. Biasanya netizen akan melakukan review bombing pada tempat kerja pelaku. Review bintang 4-5 di Google sangatlah penting sebagai penjamin kredibilitas. 

Kasus barista yang mengejek konsumen karena pesan Americano menurunkan review sebuah coffee shop di Solo. Coffee shop ini mendapat ratusan review bintang 1.

Lalu bagaimana sebaiknya pekerja menjadikan medsos? Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan. Langkah-langkah berikut saling terkait satu sama lain.

Pertama, jadikan media sosial sebagai portfolio diri. 

Sulit rasanya menjauhi media sosial. Maka jadikan medsos sebagai portfolio karir. Apalagi medsos yang memiliki nama dan data pribadi kita. Perlakukan medsos sebagai bagian dari penunjang karir yang dijalani atau di masa depan.

Silahkan juga jadikan medsos sebagai panggung menyalurkan hobi, pandangan politik, gagasan, dsb. Karena mem-posting hal seperti pekerjaan atau prestasi cukup monoton dan kaku. Humble brag setiap posting juga tidak selamanya menyenangkan. Tapi ada baiknya memikirkan poin kedua berikut.

Kedua, tunda 7 detik untuk memposting. 

Memposting memang semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi saat kita dalam kondisi emosional tinggi seperti marah, sedih, atau risau. Tahan 7 detik sebelum memposting. Mungkin niatnya menyinggung rekan kerja dengan status WhatsApp. Jatuhnya bisa ditangkap layar orang yang disinggung dan berakhir baku hantam.

Dalam kondisi non-emosional dan postingan normal, selama 7 detik juga perhatikan hal-hal ini. Kata yang bermakna dua atau bersayap. Nama, brand, atau kondisi yang mudah dipahami secara kontekstual. Ingat, netizen memiliki multi-perspektif dan bisa mem-framing sebuah konteks.

Ketiga, terapkan prinsip THINK. 

Ini adalah akronim yang bisa dipahami berikut. Huruf T (true, fakta) berarti sebaiknya postingan jujur dan tanpa rekayasa. Huruf H (helpful, berfaedah) berarti apakah postingan bisa membawa manfaat. Huruf I (inspiring, menginspirasi) berarti postingan sebaiknya memotivasi orang lain.

Huruf N (necessary, perlu) berarti postingan sebaiknya memang kita perlu bagi. Bagi orang lain pun dapat dibagikan kembali. Dan terakhir, huruf K (kind, etis) yang berarti postingan bersandar pada norma, integritas dan aturan umum. THINK ini menjadi pelengkap dari tunda 7 detik memposting di atas.

Selain sumber informasi dan media komunikasi, medsos telah menjadi bagian dari kehidupan keluarga, kerja, dan bertetangga. Sulit dan mungkin agak aneh jika kita menjauhkan diri seutuhnya dari medsos. Mengurangi medsos bisa saja dilakukan. Tapi bukan berarti benar-benar memutus diri. Hal ini dapat mendatangkan hal tidak diinginkan pekerja.

Etika bermedia sosial memang sebaiknya menjadi bagian capacity building pekerja saat ini. Tentunya bukan bermaksud mengawasi pekerja di medsos. Atau malah membatasi pekerja bermedia sosial. Tapi membekali pekerja dengan netiket yang menjadi bagian kehidupan profesional.

Salam,

Wonogiri, 21 Januari 2023

11:54 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun