Dunia digital adalah dunia euforis. Dunia di mana kita bisa jadi apa saja dan siapa saja. Menjadi sebuah akun dengan sifat dan perilaku yang begitu sempurna. Atau menjadi akun yang berkebalikan dari dunia nyata. Jadi telur saja bisa mendapat jutaan followers di Instagram.
Kebebasan ini memang menjadi daya tarik tersendiri dunia digital. Namun banyak yang memaknai kebebasan ini secara serampangan. Tak jarang merugikan orang lain. Mulai dari menyebarkan hoaks, meretas, doxing, sampai dengan mencaci maki di kolom komentar. Di berbagai platform medsos misalnya, fenomena sering ditemukan.
Mengapa begitu banyak netizen kini, yang galak-galak? Sedikit-sedikit ngegas kalau di kolom komentar. Tak jarang dari kolom komentar bisa berakhir adu pukul seperti kasus Jefri Nichol. Dari pengamatan saya pribadi, setidaknya ada 8 alasan atau faktor netizen bisa dan jadi julid di medsos.
Pertama, konsep dislokasi.Â
Dislokasi adalah konsep di mana ada jarak atau proximity antar pengguna. User medsos tentu memiliki perbedaan jarak, waktu, dan bahasa.Â
Didorong dislokasi, netizen pun merasa 'aman' jika mencaci maki seseorang. Jika ia berkomentar kasar, si empunya posting tidak bisa memukulnya. Apalagi kalau tahu akun yang digunakan adalah akun kedua atau palsu.
Kedua, sifat anonimitas.Â
Faktor kedua ini juga menjadi pendorong konsep dislokasi. Merasa menjadi akun yang bukan diri aslinya, seseorang menjadi punya 'kekuatan'. Bak memakai topeng, seseorang pun bebas melakukan apa saja, termasuk mencaci-maki. Kadang tak cuma satu akun topeng dimiliki. User bisa memiliki puluhan sampai ratusan akun.
Ketiga, faktor ikut-ikutan.Â
Nuansa psikologi massa memang tercermin di medsos. Jika beberapa akun mengeroyok akun yang dicap salah. Netizen lain pun ikut 'menggebuki'. Mulai dari berkomentar kasar, posting cyberbully, doxing, sampai menyerang keluarga atau tempat kerja. Panjang lebar fenomena digital lynching saya jelaskan di sini.