Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

4 Cara Kita Menyikapi ChatGPT

2 Januari 2023   11:28 Diperbarui: 3 Januari 2023   23:12 1975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Coding oleh Olia Danilevich (pexels.com)

Rilisnya ChatGPT oleh OpenAi menjadi kabar yang cukup heboh. Chatbot ChatGPT ini berbasis 175 miliar parameter dan 570 gigabyte teks. Maka tak heran hasil dari interaksi kita berupa teks luar biasa hasilnya. Kabarnya sudah ada buku anak, inspirasi lirik lagu, tugas esai, bahkan logo dan animasi 3D yang dibuat dengan ChatGPT. 

ChatGPT sungguh membuat semuanya serasa mudah. Namun ada isu etik dan pelanggaran hak cipta. Hal ini terjadi karena ChatGPT menghimpun dan mengkurasi begitu banyak data dari internet. Namun yang hadir sebagai produk yang kita inginkan sudah dihilangkan sumber atau atribusi.

Sehingga kita perlu menyikapi ChatGPT dengan baik dan etis. Mungkin beberapa sikap berikut perlu kita lakukan terkait ChatGPT;

1. Sebagai pintu, bukan isi rumahnya

Pertama, sikapi ChatGPT sebagai sebuah pintu bukan isi rumahnya. Karena data yang dihimpun ChatGPT adalah data terbuka (open) dari internet yang diserok (scrapping). Hasil dari chat kita dengan robot chat sebaiknya dianggap sebagai jalan masuk menuju informasi yang lebih mendalam. 

Sungguh memang menakjubkan pintu dari ChatGPT ini. Kadang banyak orang yang mengharapkan produk semata, ditelan mentah-mentah hasil chatnya. Bisa jadi masih ada informasi lebih mendalam jika kita mau kembali menelusur internet dari kata kunci dari hasil ChatGPT.

2. Sebagai sumber ide, bukan kontennya

Hasil pencarian via Google sebenarnya bisa memberikan kita ide. Walau masih perlu klik beberapa tautan memang. Tapi ChatGPT merangkum semua ide ke paragraf/poin-poin yang sudah gramatikal. Alih-alih menampilkan tautan sebagai sumber dan atribusi seperti Google, ChatGPT merangkum isi dari ribuan bahkan jutaan isi tautan.

Ingat hasil berupa teks yang dirangkum dari internet ini berasal dari banyak orang. Mereka bisa jadi adalah peneliti, penulis, artis, blogger, dsb. Dengan membaca rangkuman ChatGPT ini, sebaiknya kita perlakukan sebagai ide atau gagasan. Toh, karena hasil/produk chat sudah hilang sumber atau atribusi kreatornya.

3. Sebagai referensi populer, bukan mendalam

Hasil atau produk ChatGPT adalah rangkuman dari narasi populer di internet. Populer di sini bukan berarti mood atau gaya bahasanya. Namun hasil yang sering muncul atau dicari orang di Internet. 

Dengan kata lain, kalau kita menjadikan hasil analisis kita dalam tugas ilmiah, bisa jadi hasilnya berasal atau dirangkum dari sumber yang populer.

Perlu kehati-hatian dalam mengklaim hasil ChatGPT menjadi milik kita. Bisa jadi hasilnya adalah parafrase atau saduran dari beberapa sumber. Karena tadi, tidak ada sumber atau atribusi dari hasil 'analisis' ChatGPT. Dan secara personal, hasil instan yang diberikan mengaburkan pemahaman mendalam kita.

4. Sebagai media bermain narasi, bukan karya pribadi 

Memang hasil dari ChatGPT begitu wah. Namun perlu dilihat kembali, bahwa gaya bahasa dari narasi yang ditampilkan cukup ilmiah atau kaku. 

Kadang juga gaya bahasa yang muncul seperti hasil dari terjemahan. Jika kita sudah terlalu sering membaca karya ilmiah, hasil chatnya cenderung tidak reader-friendly.

Beda rasa dan nuansa jika sebuah tulisan benar-benar kita tulis dan jahit sendiri. Karena bisa jadi ada pengulangan, loncatan ide, dan inkoherensi antar kalimat atau paragraf dari hasil ChatGPT. Seperti poin nomor 2, baiknya narasi/hasil yang dari ChatGPT bisa kembali kita olah dengan narasi dan riset kita sendiri.

Mendapatkan bantuan dari teknologi macam ChatGPT sudah menjadi mahfum. Toh kita selama ini juga mencari jawaban via mesin pencari seperti Google, Bing atau Edge. Namun bukan berarti ada ketergantungan secara kognitif pada teknologi. 

Dampaknya adalah kemalasan untuk menalar dan mengolah informasi yang kita terima. Bisa jadi akan banyak peneliti, siswa, dan guru yang banyak secara kuantitas tapi minim dalam kualitas.

Salam,

Wonogiri, 02 Januari 2023

11:28 am

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun