Sering kita alami dan saksikan, seseorang yang kita ajak ngobrol tetiba menengok HP-nya. Tidak ada larangan untuk hal, saya tahu. Namun juga bukan berarti obrolan harus terganggu dengan notifikasi. Yang aktivitas ini kadang memutus durasi dan keseriusan sebuah obrolan.Â
Berkomunikasi lisan antar dua orang atau lebih adalah bertukar makna, gestur, dan tuturan. Tentu ada jarak antar komunikan seperti spasial, usia, dan sosial. Semakin berkurang jarak berarti semakin dekat, serius dan intim suatu percakapan.
Spasial berarti jarak proksimal tubuh antar pembicara. Dengan semakin dekat jarak antar tubuh, berarti semakin intim obrolan. Jarak usia mengacu kepada perbedaan senioritas. Dengan semakin tua seseorang, semakin berbeda cara bertutur dan mengolah gestur.Â
Jarak sosial disimbolisasi dengan pangkat, jabatan, dan pakaian. Semakin tinggi jabatan dan pangkat lawan bicara, juga semakin bagus pakaian seseorang. Tuturan dan gestur dikondisikan sedemikian rupa.
Smartphone bisa dikaitkan dengan jarak sosial. Merek atau brand smartphone yang dimiliki seseorang berpengaruh kepada kesan pertama.Â
Smartphone Apple bagi kebanyakan orang Indonesia dianggap elit. Dengan kepemilikan varian Apple terbaru menandakan kemapanan ekonomi dan cakap teknologi.
Cara berinteraksi kita dengan smartphone menciptakan jarak. Semakin sering menengok dan berkutat dengan smartphone. Orang tersebut kita anggap sebagai orang sibuk, memiliki banyak relasi, dan mempunyai banyak pengaruh dan followers.Â
Maka smartphone memiliki simbolisasi jarak yang unik cukup signifikan. Secara sosial, kepemilikan brand dan interaksi dengan smartphone berefek pada jalannya obrolan. Dan tak jarang, ada efek negatif yang ditimbulkan jika penggunaan smartphone dilakukan saat percakapan berlangsung.
Smartphone pun tidak mengusung medium interaksi lisan, tapi tulisan. Interaksi medium tulisan memiliki keterbatasan seperti minimnya gestur, tidak ada intonasi suara dan makna, serta kurangnya pembacaan mimik wajah.
Keterbatasan interaksi medium tulisan via smartphone ini diatasi dengan beragam social gesture seperti tombol like, heart, retweet, share, sticker, dan foto. Namun tetap, social gesture macam ini tidak mampu mengganti dan menjamin dinamika dan kompleksitas gestur, tuturan, dan mimik wajah.
Menciptakan jarak dan mengganti medium komunikasi menjadikan smartphone entitas disruptif. Smartphone yang digunakan saat bercakap-cakap dapat berarti:
- Obrolan kurang menarik minat salah seorang pelaku percakapan
- Obrolan tidak menunjukkan kedekatan dan keintiman pelaku percakapan
- Obrolan sudah tidak mungkin dilanjutkan lebih jauh
Contoh yang sering kita lihat seperti obrolan bisa langsung terputus karena harus menjawab chat. Mungkin hanya 5 sampai 10 detik. Tetapi jika berulang dengan frekuensi yang dekat. Maka yang kita rasakan adalah obrolan jadi 'hambar'. Atau malah pelaku percakapan saling merasa canggung.
Namun, bukan berarti secara absolut obrolan yang terganggu notifikasi adalah komunikasi kurang baik. Namun, hal ini juga dimaknai sebagai indikasi bahwa obrolan menjadi jenuh. Walaupun, obrolan bisa jadi kembali serius dan bermakna usai jeda singkat melihat notifikasi.Â
Pada tipe komunikasi seperti monolog, smartphone juga bisa berarti disrupsi. Dalam rapat misalnya, saat atasan berbicara dan peserta rapat sibuk dengan smartphonenya. Hal ini bisa dimaknai pembicaraan atasan kurang menarik atau atasan tidak memiliki kesan/kepemimpinan yang baik.
Kehidupan manusia era digital tidak bisa terlepas dari smartphone-nya. Dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun, smartphone adalah teman, pelipur lara, dan medium euforia.Â
Smartphone memiliki manfaat sekaligus mudarat. Memiliki fungsi juga disrupsi. Memiliki konektivitas sekaligus diskonektivitas. Dan memiliki dunia kita sekaligus memenjara kita.
Salam,
Wonogiri, 15 Maret 2020
04:52 amÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H