Saya mulai dengan membahas distorsi komunikasi manusia. Baik lisan, tulisan, dan gesture komunikasi manusia rentan distorsi. Kisah kearifan lokal dalam lakon Aswatama Gugat menjadi contoh nyata. Bagaimana distorsi lisan nama gajah mata bernama Hestitama bisa direkayasa menjadi nama Aswatama.
Begitupun dalam bentuk tulisan seperti kata apel. Apakah kata ini berarti buah atau aktivitas upacara, tergantung pengucapannya. Parahnya, di dunia digital rekayasa macam inilah yang menjadi elemen dasar hoaks membodohi netizen.
Distribusi masif hoaks yang dilakukan oknum atau kelompok semakin membahayakan dampaknya. Orang-orang pun terjebak dengan linimasa serupa, pemikiran homogen, dan persepsi satu arah. Akibatnya, orang-orang ini akan mudah sekali percaya dengan hoaks.
Oleh sebab itu, saya berbagi sedikit tips melakukan cek fakta. Terutama menggunakan chat bot WhatsApp bernama Kalimasada. Chat bot ini menyajikan klarifikasi atas hoaks yang sudah beredar luas. Cukup dengan mengetik keyword dari sebuah narasi hoaks. Klarifikasinya bisa didapatkan.
Beberapa peserta workshop langsung mempraktekkan pencarian fakta dengan antusias. Mulai dari keyword 'radiasi' sampai 'Novel Baswedan' diketik dan didapatkan hasil klarifikasinya.
Dengan mudahnya chat bot WhatsApp Kalimasada. Para peserta workshop Solo Bersimfoni ini diharapkan bisa berbagi, menerapkan, dan menjadi penumpas hoaks di keluarga dan lingkungannya.
Sehingga, para relawan ini mampu bersimfoni bersama dengan cek fakta.
Salam,
Wonogiri, 25 November 2019