Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengumbar Sedih demi Emoji

22 November 2019   22:17 Diperbarui: 23 November 2019   09:54 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sad oleh Jan Prokes - foto: pexels.com

Manusia adalah drama. Sosial media kini menjadi panggung-panggung kecil mementaskan tragedi. Yang tak jarang dipublikasi demi like dan komen. Apakah emoji dan komentar menyembuhkan lara? Atau adakah hal-hal lain yang tidak kita ketahui.

Mengumbar kesedihan adalah juga narsisme. Bukan narsisme dangkal yang kita ketahui sebagai rasa mencintai diri sendiri berlebihan. Atau sebuah konsep dimana dunia harus berputar mengelilingi seseorang narsisistik. 

Sherry Turkle dalam bukunya Alone Together 2011 mengungkap:

"I have said that in the psychoanalytic tradition, one speaks about narcissism not to indicate people who love themselves, but personality so fragile that it needs constant support."

Narsisme yang kita pahami di sosial media kurang lebih pernyataan Turkle di atas. Bahwasanya, mengumbar kesedihan adalah cara seseorang mencari dukungan moril. 

Salah? Tidak sama sekali. Namun mengkuantifikasi rasa sedih demi emoji, komentar, bahkan share saya kira tidak mengurangi kesedihan.

Memposting apapun di sosial media akan selalu menjadi beban. Beban yang kini kita anggap sebagai kewajiban, kepatutan, atau muscle memory. Saat ada komentar teman dibubuhkan pada postingan sedih. Kita wajib membacanya. Kalau sempat dan komentarnya bagus bisa dibalas.

Akan menambah beban kesedihan jika ada saja komentar yang tidak baik. Saat hati sedang gundah dan dirundung duka. Pun akan banyak orang memiliki beragam persepsi. Ada yang merasa kita mencari perhatian. Ada juga yang menyangka kita bersandiwara. 

Marshall McLuhan membuat adagium "The medium is the message" tahun 1960. Atau dalam konteks sosial media, bukan kesedihannya yang menjadi fokus. Tapi mediumnya, yaitu sosmed-lah yang menjadi pesan. 

Kesedihan tidak lagi menjadi kesedihan saat diposting di linimasa. Kesedihan dalam sosial media bisa menjadi pesan interaksi algoritma dengan lingkar teman terdekat. Kesedihan kita pun menjadi subjek algoritma mencari perhatian kita untuk tetap memandangi linimasa.  

Sebelum McLuhan, Shakespeare telah mengungkap betapa rentan kita pada medium pada abad ke-16. Dalam Sonnet 73, Shakespeare menulis "Consumed with that which we are nourished by."

Kita akan menjadi begitu terikat dengan hal-hal yang kita puja. Sehingga pada waktunya, kita hanyut ke dalamnya. Kesedihan yang diumbar di linimasa kita puja sebagai bentuk mencari sandaran mental.

Namun seiring posting kesedihan tersebut penuh emoji, komen, dan share. Kesedihan bukan lagi kesedihan. Ia bertiwikrama menjadi sebuah interaksi digital yang viral. Viralitas kesedihan kita menawarkan panasea ilusif dan sandaran mental palsu. 

Karena bisa jadi, pemberi komentar hanya merasakan sekelebat duka. Setelah komentarnya dibalas, mereka kembali berpesta, mengemudi mobil, atau malah tidur. Hanya untuk mengetahui besok pagi kita akan posting hal yang berbeda lagi.   

Tidak pernah ada yang salah mengumbar kesedihan demi klik. Yang salah adalah ketika aktivitas ini menjadi habit. Kesedihan adalah pesan kuat untuk mencari simpati. Apalagi saat medium-nya adalah sosial media.

Kisah sedih di linimasa sudah tidak terhitung lagi. Namun dari banyaknya kisah sedih yang bersliweran di linimasa. Apakah masih ada yang kita ingat? Atau setidaknya tidak kita labeli lagi sebagai drama pansos?

Banalitas linimasa yang penuh dengan emosi berbentuk emoji, memperkeruh persepsi dan perasaan kita. Kesedihan patut kita berikan simpati. Namun benarkah rasa simpati yang tulus. Atau sekadar meramaikan emoji dan kolom komentar?

Kelindan perasaan ini berlangsung cepat. Kadang hanya beberapa detik rasa simpati kita muncul. Untuk kemudian usai memberi emoji dan komen kita tersenyum melihat posting video kucing teman.

Bagi yang merasakan kesedihan. Setidaknya memberi emoji sedih dan komentar melipur lara. Namun tidak dapat mengobati. Dalam hal ini, hati dan perasaan terdistraksi oleh berapa banyak notifikasi yang bisa hadir di layar ponsel.  

Salam,
Wonogiri, 22 November 2019
10:17 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun