Kita akan menjadi begitu terikat dengan hal-hal yang kita puja. Sehingga pada waktunya, kita hanyut ke dalamnya. Kesedihan yang diumbar di linimasa kita puja sebagai bentuk mencari sandaran mental.
Namun seiring posting kesedihan tersebut penuh emoji, komen, dan share. Kesedihan bukan lagi kesedihan. Ia bertiwikrama menjadi sebuah interaksi digital yang viral. Viralitas kesedihan kita menawarkan panasea ilusif dan sandaran mental palsu.Â
Karena bisa jadi, pemberi komentar hanya merasakan sekelebat duka. Setelah komentarnya dibalas, mereka kembali berpesta, mengemudi mobil, atau malah tidur. Hanya untuk mengetahui besok pagi kita akan posting hal yang berbeda lagi. Â Â
Tidak pernah ada yang salah mengumbar kesedihan demi klik. Yang salah adalah ketika aktivitas ini menjadi habit. Kesedihan adalah pesan kuat untuk mencari simpati. Apalagi saat medium-nya adalah sosial media.
Kisah sedih di linimasa sudah tidak terhitung lagi. Namun dari banyaknya kisah sedih yang bersliweran di linimasa. Apakah masih ada yang kita ingat? Atau setidaknya tidak kita labeli lagi sebagai drama pansos?
Banalitas linimasa yang penuh dengan emosi berbentuk emoji, memperkeruh persepsi dan perasaan kita. Kesedihan patut kita berikan simpati. Namun benarkah rasa simpati yang tulus. Atau sekadar meramaikan emoji dan kolom komentar?
Kelindan perasaan ini berlangsung cepat. Kadang hanya beberapa detik rasa simpati kita muncul. Untuk kemudian usai memberi emoji dan komen kita tersenyum melihat posting video kucing teman.
Bagi yang merasakan kesedihan. Setidaknya memberi emoji sedih dan komentar melipur lara. Namun tidak dapat mengobati. Dalam hal ini, hati dan perasaan terdistraksi oleh berapa banyak notifikasi yang bisa hadir di layar ponsel. Â
Salam,
Wonogiri, 22 November 2019
10:17 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H