Diadaptasi dari presentasi Andre Romano (2019)
Seusai 4 pilar yaitu, Rights, Respect, Responsibility, dan Reasoning. Pilar ke lima yang diajabarkan disini adalah Resilience atau ketangguhan kita menghadapi efek tak terduga dunia digital.
Resilience menawarkan strategi menghadapi dan menanggulangi dampak negatif dunia digital. Dampak yang terjadi antara lain mis/disinformasi, kritik, konfrontasi, dan provokasi. Karena ketangguhan dalam menghadapi hal-hal tersebut tidak semua bisa menghadapi.
Kabar bohong atau hoaks hampir menjadi 'makanan' sehari-hari netizen. Baik itu pada linimasa terbuka seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Ataupun pada platform yang tertutup seperti grup chat Telegram, WhatsApp, atau Messenger.
Dengan jumlah pengguna Facebook yang lebih dari 130 juta. Informasi dari tiap users sulit dibatasi baik konten dan distribusinya. Mulai dari informasi berkonten rasis, anarkis, misoginis, dan bigot. Sampai kabar bohong bermuatan kesehatan, keyakinan, dan politik. Hampir urung dibatasi.
Dampak moderasi longgar platform ini signifikan pada users. Kita sebagai users pun wajib dapat memilah, memilih, dan memahami informasi. Kadang dengan cara berfikir yang tidak cukup logis. Karena muatan emosi dalam berita bohong yang kadang begitu menjebak.
Menghadapi kritik di linimasa pun memerlukan keteguhan hati dan emosi. Banyak netizen sulit membedakan mana kritik dan caci maki. Dengan berlindung dibalik anonimitas, netizen lebih suka mencela daripada bertanya. Tak jarang dalam kerumunan (buzzer) mereka memborbardir caci-maki pada sebuah akun.
Kebebasan berpendapat adalah pondasi dunia digital. Namun, banyak yang kebablasan memahami hak bebas berpendapat. Tanpa tanggung jawab banyak yang malah memprovokasi, merisak, dan mempersekusi pribadi. Perbuatan men-doxing sampai meretas akun tak jarang sering dilakukan.
Konfrontasi seperti hal-hal di atas yang banyak orang tidak menduga. Konektivitas yang ditawarkan dunia digital memiliki efek tak terukur. Interaksi tidak sehat di atas dapat menjurus tindakan di dunia nyata. Persekusi langsung mungkin terjadi akibat debat kusir akibat preferensi politik di linimasa.
Polarisasi publik akibat intervensi preferensi pribadi dan algoritma mengekang kita. Banyak yang tidak menyadari. Tribalisme digital dengan merasa menang sendiri dan paling benar pun terjadi. Perspekti oposisi adalah kenihilan dalam mindset mereka.
Ketangguhan dunia digital hanya bisa muncul dengan literasi media dan digital. Karena pengetahuan adalah kekuatan. Maka kita perlu memahami, mempelajari, dan mempraktekkan cek fakta, melaporkan akun/konten negatif, sampai men-setting akun.
Netizen Indonesia baiknya mulai banyak memahami prinsip Resilience. Bukan untuk saling bertahan atas kabar bohong, bully, atau persekusi. Namun menciptakan ekosistem linimasa yang sehat, kondusif, dan membangun.
Ke lima pilar digital 5R di atas baiknya menjadi pegangan netizen. Dalam berinteraksi kita menghormati hak (Rights) mereka. Dengan tetap merangkul perbedaan yang ada (Respect).Â
Selalu bertanggung jawab (Responsibility) atas posting/komentar yang ditulis. Memastikan postingan/komentar juga berbasis fakta dan data (Reasoning). Dan, tetap tangguh (Resilience) dalam menghadapi ekses dunia digital.
Salam,
Yogyakarta, 09 Oktober 2019
11:04 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H