Diadaptasi dari presentasi Angela Romano (2019)
Ada 2 pilar digital telah dijabarkan sebelumnya antara lain Rights dan Respect. Dan pilar ketiga dari 5R adalah Responsibility atau bertanggung jawab. Pilar ini berfokus pada menciptakan dunia digital yang suportif dan suportif bagi sesama users.
Menjadi netizen yang baik selain kita menghormati hak dan perbedaan. Baiknya lagi kita bertanggung jawab atas kelompok lain dan minoritas. Selain juga menjadi influencer yang bermartabat, independen. Sekaligus menerima kritik dan tidak semena-mena menuduh orang dan bukan perilakunya.
Seperti sering kita temui di linimasa. Banyak sekali orang/akun yang begitu kuat atau mayoritas yang kadang sulit menerima perbedaan. Tak jarang kelompok ini anti-kritik. Serangan pada minoritas berdasar keyakinan, etnis, sampai preferensi seksual bisa dilakukan, kadang kebablasan.
Dengan begitu masif dan terstrukturnya bot dan troll. Tak jarang kelompok berkepentingan ini menjamuri linimasa kita. Dengan tanpa tanggung jawab meninggalkan posting atau komentar yang tidak mengenakkan dibaca. Dan tak jarang kelompok mayoritas di linimasa ini dikomandoi influencers.
Peran influencers yang memiliki ribuan bahkan jutaan teman/followers cukup signifikan. Apalagi saat mereka menggemakan (buzzing) sebuah isu atau topik.Â
Peran influencers yang sering ditemui adalah sebagai kounter-narasi. Walau pada sisi lain, influencers pun mendorong isu yang malah kontra pada nilai-nilai demokrasi.
Para pengikut influencer yang mengidolakan mereka tak jarang terbutakan. Apa saja yang kiranya diisukan influencer sudah pasti penting. Tak jarang daya kritis dan menahan diri terjebak propaganda sulit dan urung dilakukan.
Para influencers tidak semuanya merugikan. Beberapa menjadikan gerakan mereka sebagai social activism. Dengan menaikkan tagar atau posting viral yang memicu keprihatinan dan kepedulian.Â
Isu seperti perubahan iklim, konflik fisik dan ideologis, atau pelanggaran HAM bisa menggerakkan massa bahkan menghentikan dan memperdulikan isu yang diusung.
Pada taraf personal atau pribadi, banyak yang mempraktikkan ad hominem. Dengan kata lain, saat berdebat atau berdiskusi orang/kelompok malah menyoroti siapa yang bicara bukan apa yang dibicarakan.Â
Tak jarang perilaku merugikan yang dijadikan isu tidak ditemukan solusi. Malah menambah problema lain dengan menuduh, melabeli, dan menstereotipe seseorang/kelompok.
Sebutan seperti cebong atau kampret adalah salah satu contohnya. Pelabelan yang diciptakan ini tidak memberikan win-win solution bagi polarisasi akibat Pilpres. Namun malah memperuncing dendam dan konflik yang bisa tersulut kapan saja paska Pilpres.
Sikap dan perilaku tidak sehat ini teramplifikasi akibat preferensi personal dan algoritma. Membanjiri linimasa dengan informasi yang sudah dipahami dan dianut membuat kebebalan. Tak jarang muncul tribalisme digital yang berpotensi menyulut konflik dunia nyata.
Bertanggung jawab atas posting, komentar, atau share jarang disadari dan dilakukan. Apalagi saat keadaan konflik, bencana, dan darurat. Banyak pihak yang mencoba memperkeruh suasana dan kondisi. Tak jarang pula yang menimbulkan korban jiwa seperti hoaks kebencanaan.
Menjadi user yang bertanggung jawab menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama. Kebaikan ini baiknya dilakukan secara kolektif. Melaporkan posting atau komentar memicu ujaran kebencian dan hoaks salah satu cara kita bertanggung jawab.
Jadi, mari kita mulai menghormati hak users, merawat perbedaan, dan menjaga iklim informasi sehat di linimasa.
Pilar digital ke 4: ReasoningÂ
Salam,
Sydney, 01 Oktober 2019
12:32 am
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H