Event di Institut Seni Indonesia ini bisa menjadi referensi kontemporer fotografi. Bahasannya cukup anti-mainstream. Pemaparannya membahas nasib fotografi di tengah deraan informasi hoaks yang melanda kita saat ini.
Dirangkai dengan tema "Kondisi Fotografi Hari Ini di Tengah Maraknya Hoaks". Menjadi rangkaian acara Pameran Fotografi Prodi Fotografi 2017 ISI Surakarta.
Sunaryo Haryo Bayu atau yang akrab disapa Pak Yoyok sebagai jurnalis foto senior Solopos menjadi narasumbernya. Pengalaman dan karya jurnalis beliau tidak perlu diragukan kejujurannya.Â
Saya sendiri mewakili Mafindo Soloraya memaparkan demografi hoaks dengan medium foto dan narasi. Ditambah nasib foto dengan pengaruh suntingan artificial intelligence yang selain canggih tapi juga membahayakan.
Sejak teknologi kamera memungkinkan kita mengabadikan sebuah momen. Nilai etis, estetis, bahkan ekletik terungkap. Dan pada foto pun kejujuran atau kebenaran bisa terungkap.
Seorang jurnalis foto sepatutnya menyajikan realitas. Walau kadang harus berurusan dengan pencitraan rezim, institusi, bahkan tokoh. Namun kejujuran sebaiknya dijadikan prinsip integritas. Begitulah ungkap Pak Yoyok seorang jurnalis foto koran Solopos.
Foto-foto beliau sering memunculkan kejujuran yang bagi beberapa orang tidak diinginkan. Yang pada akhirnya, atas nama integritas dan profesionalisme, foto berisi kejujuran tetap ia tangkap untuk diungkap.
Beberapa foto beliau seperti kerusuhan Solo pada Mei 1998 pernah ia abadikan. Pernah, sebuah LSM men-scan foto beliau untuk dibengkokkan maknanya dalam buletin LSM tersebut.Â
Foto-foto yang ditampilkan cukup mengerikan. Ada adegan di mana personel militer mengencingi tahanan. Ada pula foto adegan personel militer yang memukulkan moncong senjata mereka ke tahanan.
Namun kenyataan, foto tersebut diakui dibuat di sebuah pangkalan militer di Lancashire. Sang fotografer tidak pernah pergi ke Irak. Dengan sang editor akhirnya dipenjara karena foto yang ditampilkan membahayakan keamanan negara. Dan Daily Mirror akhirnya membuat klarifikasi hari berikutnya.
Propaganda bernuansa SARA kini pun sering kita temui di linimas. Hampir setiap hari kita temui foto beserta narasi menyesatkan di sosial media. Banyak netizen pun terjebak dan turut menyebarkan informasi hoaks tersebut.
Dari data Mafindo tahun 2018, terjadi peningkatan jumlah hoaks dengan media foto dan narasi. Data dari bulan Juli dideteksi 22 hoaks berfoto dan narasi. Namun sampai September terjadi peningkatan signifikan hoaks ini menjadi 142.
Pertanyaan tentang nasib fotografi di tengah ancaman hoaks di masa depan masih perlu kita fahami. Dengan ratusan juta foto terunggah setiap foto. Realitas tersebut menyediakan big data berupa foto digital.Â
Karena di masa depan, hoaks foto dan narasi bisa semakin futuristik dan merusak. Seperti rekayasa foto ala DeepNude yang meresahkan. Atau rekayasa Neural Network yang mampu merangkai sketsa wajah menjadi foto utuh. Ancaman DeepFake yang rekayasanya berasal dari foto pun mengundang isu etis.
Lahan fotografi pun menjadi lahan usaha ilegal beberapa oknum. Dengan skill editing yang cukup, ada saja oknum yang mengedit foto pre-wed seseorang untuk kliennya yang tak mampu membuat foto pre-wedding sendiri.
Di masa depan, bisa jadi hoaks tidak dibuat manusia. Namun algoritma machine learning melakukan semua untuk kita. Dengan menawarkan jasa "personal/company branding" atau "social media PR campaign" faktanya penyedia jasa troll Rusia dapat disewa jasanya.
Dengan event pemaparan di ISI Surakarta ini setidaknya kita bisa simpulkan. Perlunya peran jurnalis dan mahasiswa mengedukasi publik tentang hoaks berbasi foto. Masa depan hoaks berbasis foto bepotensi kian negatif di masa depan. Dan perlunya publik turut serta dalam gerakan antihoaks
Salam,
Yogyakarta, 11 Juli 2019
03:30 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H