Namun kenyataan, foto tersebut diakui dibuat di sebuah pangkalan militer di Lancashire. Sang fotografer tidak pernah pergi ke Irak. Dengan sang editor akhirnya dipenjara karena foto yang ditampilkan membahayakan keamanan negara. Dan Daily Mirror akhirnya membuat klarifikasi hari berikutnya.
Propaganda bernuansa SARA kini pun sering kita temui di linimas. Hampir setiap hari kita temui foto beserta narasi menyesatkan di sosial media. Banyak netizen pun terjebak dan turut menyebarkan informasi hoaks tersebut.
Dari data Mafindo tahun 2018, terjadi peningkatan jumlah hoaks dengan media foto dan narasi. Data dari bulan Juli dideteksi 22 hoaks berfoto dan narasi. Namun sampai September terjadi peningkatan signifikan hoaks ini menjadi 142.
Pertanyaan tentang nasib fotografi di tengah ancaman hoaks di masa depan masih perlu kita fahami. Dengan ratusan juta foto terunggah setiap foto. Realitas tersebut menyediakan big data berupa foto digital.Â
Karena di masa depan, hoaks foto dan narasi bisa semakin futuristik dan merusak. Seperti rekayasa foto ala DeepNude yang meresahkan. Atau rekayasa Neural Network yang mampu merangkai sketsa wajah menjadi foto utuh. Ancaman DeepFake yang rekayasanya berasal dari foto pun mengundang isu etis.
Lahan fotografi pun menjadi lahan usaha ilegal beberapa oknum. Dengan skill editing yang cukup, ada saja oknum yang mengedit foto pre-wed seseorang untuk kliennya yang tak mampu membuat foto pre-wedding sendiri.
Di masa depan, bisa jadi hoaks tidak dibuat manusia. Namun algoritma machine learning melakukan semua untuk kita. Dengan menawarkan jasa "personal/company branding" atau "social media PR campaign" faktanya penyedia jasa troll Rusia dapat disewa jasanya.
Dengan event pemaparan di ISI Surakarta ini setidaknya kita bisa simpulkan. Perlunya peran jurnalis dan mahasiswa mengedukasi publik tentang hoaks berbasi foto. Masa depan hoaks berbasis foto bepotensi kian negatif di masa depan. Dan perlunya publik turut serta dalam gerakan antihoaks
Salam,
Yogyakarta, 11 Juli 2019