Stagnasi sekolah negri di perkotaan dan desa telah prediksi. Dalam 10 tahun, sekolah negri akan dikalahkan sekolah swasta secara kuantitas dan kualitas. Apalagi jika zonasi hanya berfokus pada pemerataan sebaran kuantitas siswa saja.
Jika banyak orangtua tidak sanggup menyekolahkan anak di sekolah swasta. Maka mau tak mau, mereka mendapati anaknya di sekolah negri dekat tempat tinggal yang apa adanya.
Saya pun sebagai orangtua, memahami keinginan anak dan pribadi untuk masuk sekolah favorit. Bagi banyak orangtua, zonasi juga memberi manfaat. Karena nilai UN dan faktor ekonomi bukan lagi penghambat anak bisa sekolah di SMP/SMA/SMK favorit di kota/kecamatannya.
Alih-alih memeratakan pendidikan secara materil dan imateril. Kemendikbud secara prematur menginisiasi sistem PPDB zonasi. Maka tak ayal dampak sistem zonasi ini berlanjut dari tahun ke tahun.
Zonasi Sebagai Alienisasi Subtil
Yang terjadi saat ini di benak siswa adalah mereka diasingkan. Keinginan mereka untuk mendapat sekolah favorit pupus. Karena mau tak mau, labelisasi sekolah favorit sudah berlangsung lama.
Sedang untuk merubah label sekolah favorit bukan dengan menerapkan zonasi. Apalagi jika pemerataan pendidikan seperti data diatas belum juga optimal.Â
Calon siswa mungkin sudah mempersiapkan diri untuk jalur prestasi. Seperti dengan menjuarai kejuaran akademik ataupun non-akademi. Namun yang bisa saja terjadi adalah calon siswa lain yang berprestasi lebih baik, sudah lebih dahulu mengisi kuota 5% tersebut.
Sekolah favorit favorit pun akan diserbu orangtua siswa yang bingung akan zonasi. Ratusan orangtua di Karanganyar mengantri sejak subuh demi registrasi di SMPN 1 Tawangmangu. Di Beji Depok, ratusan orangtua yang mencoba peruntungan masuk SMAN 1 Depok mengantri sejak pukul 6 pagi.
Kekecewaan anak mungkin berfek domino kepada orangtua. Anak akan merasa rendah diri tidak dapat masuk sekolah favorit. Sedang orangtua akan kelimpungan mencari sekolah swasta yang setara atau setidaknya baik.