Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Katanya Puasa, Kok Masih Sebar Hoaks?

9 Mei 2019   15:37 Diperbarui: 10 Mei 2019   08:00 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Analogi sederhana dan masuk akal yang melekat pada judul artikel saya ini adalah:

  • Menyebar hoaks = perbuatan buruk
  • Orang berpuasa = menahan diri dari perbuatan buruk
  • Penyebar hoaks = tidak berpuasa

Namun faktanya, masih ada orang yang menyebar hoaks di bulan Ramadhan. Seperti kasus EY yang akhirnya dicokok polisi akibat hoaks yang disebarnya. Dalam postingannya, EY menyebarkan hoaks kalau Jokowi adalah anggota PKI.

EY yang merupakan anak dari pemilik travel umroh, mengaku mendapat hoaks tersebut dari WhatsApp dan portal berita. Ia pun bisa terjerat UU No 1 Tahun 1946 Pasal 14 dan/atau 15 tentang penyebaran berita bohong, dengan ancaman penjara 3-10 tahun.

Padahal apa yang EY posting adalah hoaks daur ulang. Dan di situs Mafindo, hoaks ini sudah sering dibongkar berulang kali.

Dengan latar belakang seorang pemilik travel umroh, mengapa EY menyebar hoaks tersebut? Padahal pada bulan Ramadhan, bukankah lebih baik menebar kebaikan daripada kebohongan?

Buku One Nation Two Realities karya Morgan Marriet dan David C. Barker, mengungkap sebuah hal pelik. Perspektif kebenaran seseorang tidak dipengaruhi preferensi ideologis. Atau pengaruh dari media partisan bahkan ras.

Perspektif kebenaran dipengaruhi ras iba atau welas asih. Perasaan iba inilah yang menjadi dasar mereka berakal budi.

Pendidikan juga tidak bisa meruntuhkan mode persepsi kebenaran tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang. Semakin pelik pertentangan persepsi yang dimunculkan. Apalagi saat realitas tersebut berdasarkan perspektif rasa iba.

Jika kita tarik contoh tindak kasus hoaks EY diatas. Maka proposisi yang muncul dalam perspektif kebenaran menurut EY adalah:

  • Jokowi + PKI = kebenaran
  • Memusuhi PKI = cinta negri 
  • Memusuhi Jokowi = cinta negri

Persepsi yang mungkin timbul menurut versi EY adalah: PKI sebagai musuh bersama negri ini. Narasi di sosmed yang mem-frame Jokowi selama ini akhirnya dipercayai.

Dengan EY mendasarkan persepsinya pada hal berikut yaitu: Pemeluk agama mayoritas banyak menjadi korbannya. Rasa iba timbul kepada korban kekejaman PKI. Kemunculan kembali PKI sebagai penguasa berarti kejahatan yang merajalela.

Sehingga EY pun: Antek-antek PKI akan sama jahatnya dengan PKI jaman dulu. Begitupun anak dan keturunan PK. Maka Jokowi adalah yang terus dinarasikan sebagai anak dari seorang anggota PKI tak luput dipersangkakan.

Secara naif, EY  adalah korban jika dipandang dari perspektif kebenaran serupa. Yang pada akhirnya menguatkan narasi jikalau PKI berkuasa. Maka akan ada penguasa tiran atau otoriter.

Sedang bagi penganut perspektif kontra. Kebenaran perspektif EY sanggup dibantah. Pun sudah banyak hasil fact-checking yang dilakukan banyak pihak dinafikan. 

Namun yang mengalahkan perspektif kebenaran sesungguhnya adalah rasa iba seseorang. Dari kasus hoaks ala EY diatas, juga bisa ditarik kesimpulan. Sebaran berita hoaks berbasis perspektif ini dapat dilakukan tanpa memandang kondusifitas bulan Ramadhan. 

Walau simpulan saya mungkin tentatif dan perlu dikaji lebih dalam. Namun kasus EY dan kajian buku Marriet dan Barker bisa ditelaah kemiripan. Dan bukankah kita semua memiliki rasa iba yang dibentuk hampir serupa. Dalam bukunya kita semua memiliki aspek intuitive epistemology.

Dan jika kita mampu mengindra lebih luas. Maka narasi rasa iba pada Prabowo yang selama ini kalah dalam Pilpres. Bisa jadi menjadi pemicu perspektif kebenaran semacam EY anut.  

Walau tidak secara eksplisit dimunculkan dalam ekspresi simpatisannya. Namun menuduh Jokowi sebagai PKI, antek asing, dan rezim otoriter mampu secara implisit memberikan rasa iba kepada banyak orang.

Jokowi dituding PKI karena tindakan mereka yang begitu kejam digambarkan. Jokowi direka disetir oleh pihak asing tak lain menyinggung rasa chauvinisme. Dan mengangkat anasir Jokowi sebagai rezim otoriter tak lain untuk memperlihatkan tindak represif pada rakyat.

Prabowo yang secara militer cerdas dan berprestasi. Cukup diam dan menerima rasa iba dari propaganda hitam dan narasi hoaks yang diciptakan. Framing yang disebutkan diatas pun diulang, disistematisasi, dan disebarkan masif via sosmed.

Chess Pawn oleh Jan Vaek - Foto: pixabay.com
Chess Pawn oleh Jan Vaek - Foto: pixabay.com
Dengan tidak memandang amal baik perbuatan di bulan Ramadhan. Bisa jadi menyebar hoaks dilakukan sebagai tindakan 'bijak'. Karena dasar rasa iba akan kejahatan satu pihak memunculkan rasa heroisme.

Apalagi jika banyak pihak dan akun sosmed yang melakukan hal serupa. Menyebar hoaks Jokowi adalah antek PKI. Maka rasa iba banyak orang menumbuhkan gerakan 'people power' semu. Yang nyatanya kebablasan dan keblinger.

Faktor algoritma filter bubble yang menguatkan echo chamber, juga mempengaruhi tak langsung. Isi linimasa berupa posting yang selektif dan begitu personal memenjara perspektif user. Echo chamber atau ruang gema pada akhirnya meng-autoindoktrinasi perspektif yang sudah dipercaya.

Konflik yang ditimbulkan dengan menyebar hoaks seperti menuduh Jokowi PKI. Tak lain adalah cara orang seperti EY membela kebenaran. Bak pahlawan di tengah banyak kerumunan orang. Mereka menyerukan kepada siapapun yang maju sebagai 'martir kebenaran'.

Walau fakta sebelumnya harusnya sudah cukup mampu membalik perspektif mereka. Penggorengan isu oplas Ratna Sarumpaet dengan narasi pengeroyokan berakhir tragis. Pihak yang mengarang dan membesarkan narasi ini pada akhirnya cuci tangan.

Ratna bisa jadi adalah martir dari model perspektif kebenaran seperti yang EY lakukan. Dan banyak lagi hoaks yang coba di-trendingkan dan memakan korban yang dicokok polisi pada akhirnya.

Pihak yang dibela para korban yang kini mendekam di rutan bukan membela mereka. Namun menjadikan penangkapan mereka sebagai bahan bakar narasi-narasi kebohongan lebih lanjut. 

Semakin dipaparkan dan dipupuk perspektif kebenaran macam ini. Semakin kuat pemahaman orang seperti EY terbentuk. Mendiamkan mereka capek sendiri bukan solusi. Memberi perlawanan lebih represif juga bukan menjadi opsi.

Yang bisa dilakukan kini adalah membentengi akal sehat. Yaitu cara melakukan cek fakta pada informasi walau sederhana. Berpegang pada media dan figur yang kredibel rekam jejak informasinya. Turut dalam gerakan anti hoaks di sekitar kita.

Aktivitas cek fakta sebagai bagian dari sikap heroisme pun laik kita fahami. Karena di tengah tsunami informasi kebohongan. Hanya super hero yang memiliki kepahaman cek fakta bisa memiliki benteng akal sehat. 

Salam,

Wonogiri, 09 Mei 2019

03:36 pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun