Faktor algoritma filter bubble yang menguatkan echo chamber, juga mempengaruhi tak langsung. Isi linimasa berupa posting yang selektif dan begitu personal memenjara perspektif user. Echo chamber atau ruang gema pada akhirnya meng-autoindoktrinasi perspektif yang sudah dipercaya.
Konflik yang ditimbulkan dengan menyebar hoaks seperti menuduh Jokowi PKI. Tak lain adalah cara orang seperti EY membela kebenaran. Bak pahlawan di tengah banyak kerumunan orang. Mereka menyerukan kepada siapapun yang maju sebagai 'martir kebenaran'.
Walau fakta sebelumnya harusnya sudah cukup mampu membalik perspektif mereka. Penggorengan isu oplas Ratna Sarumpaet dengan narasi pengeroyokan berakhir tragis. Pihak yang mengarang dan membesarkan narasi ini pada akhirnya cuci tangan.
Ratna bisa jadi adalah martir dari model perspektif kebenaran seperti yang EY lakukan. Dan banyak lagi hoaks yang coba di-trendingkan dan memakan korban yang dicokok polisi pada akhirnya.
Pihak yang dibela para korban yang kini mendekam di rutan bukan membela mereka. Namun menjadikan penangkapan mereka sebagai bahan bakar narasi-narasi kebohongan lebih lanjut.Â
Semakin dipaparkan dan dipupuk perspektif kebenaran macam ini. Semakin kuat pemahaman orang seperti EY terbentuk. Mendiamkan mereka capek sendiri bukan solusi. Memberi perlawanan lebih represif juga bukan menjadi opsi.
Yang bisa dilakukan kini adalah membentengi akal sehat. Yaitu cara melakukan cek fakta pada informasi walau sederhana. Berpegang pada media dan figur yang kredibel rekam jejak informasinya. Turut dalam gerakan anti hoaks di sekitar kita.
Aktivitas cek fakta sebagai bagian dari sikap heroisme pun laik kita fahami. Karena di tengah tsunami informasi kebohongan. Hanya super hero yang memiliki kepahaman cek fakta bisa memiliki benteng akal sehat.Â
Salam,
Wonogiri, 09 Mei 2019
03:36 pm