Informasi hoaks pun sempat mengotori linimasa. Dari mulai hoaks server KPU 'bolong'. Ada 7 kontainer surat suara tercoblos. Sampai pengeroyokan fiktif Ratna Sarumpaet, menggelorakan nafsu politis menjelekkan citra salah satu pasang Capres.
Kampanye berbasis identitas agama dan kegaduhan reaktif medsos memunculkan penjara digital, filter bubble. Algoritma yang didesain sebagai default platform sosmed ini berdampak serius pada pola pikir users.
Kedua simpatisan Capres akan selalu disajikan berita homogen di linimasanya. Mereka yang mendukung Capres 01, akan banyak posting tentang Capres di linimasanya. Begitupun pada pendukung Capres 02. Maka yang terjadi adalah auto-indoktrinasi ala ruang gema (echo chambers).
Perspektif post-truth, yaitu prinsip keyakinan pribadi diatas konvensi, menguat. Yang kita amati adalah apa saja yang diinformasikan dari kubu 01 dan 02 akan selalu dicap hoaks. Data dan fakta dari kubu 01 akan dilabeli bohong dan konspirasi rezim. Sedang fakta dari kubu 02 akan dijustifikasi mengada-ada atau rumor semata.
Maka terbentuk residu perspektif post-truth yang bisa kita telusur dari Pilkada DKI 2017. Ada segregasi sosial bagi mereka yang mendukung Ahok-Djarot adalah kaum liberal, pluralis, dan sekuler. Dan pendukung Anies-Sandi adalah sektarian, agamis, dan (kadang) radikal.
Tak jauh berbeda, residu perspektif post-truth juga kita raba dari Pemilu 2014. Koalisi partai oposisi pimpinan Gerindra berada dalam gerbong berpola mirip seperti para pendukung Anies-Sandi. Yang terjadi pada gerbong partai koalisi petahan pun kurang lebih serupa.Â
Perspektif post-truth dari hasil segregasi sudut pandang politis dan basis massa kini teramplifikasi di Pemilu 2019. Berkat kebebasan ekspresi yang kebabablasan di sosmed, komersialisasi propaganda digital, dan rekayasa social gesture. Rekonsiliasi hanyalah topeng untuk menutupi polarisasi (ekstrim) usai Pemilu.
Pada level pimpinan dan pejabat teras timses, rekonsiliasi adalah waktu berbenah dan saling menyalami. Tidak ada sakit hati selain komisi karena sudah berkampanye selama hampir lebih satu tahun. Lobi-lobi politis dan administratif untuk jabatan tertentu pun bisa jadi terjadi. Dengan tidak memandang kubu mana didukung saat kampanye.
Karena gencarnya media menyorot pendukung Prabowo dengan simbolisasi agama yang kuat, emak-emak berjilbab yang militan. Atau media yang menggambarkan simpatisan Jokowi yang dianggap hedonis, berpola fikir bebas, dan 'ke-kotaan'. Stigma sosial ala simpatiasn pendukung akhirnya tercermin di kehidupan nyata.Â
Duel fisik akibat beda pilihan Capres yang sempat terjadi di Sampang Madura pun bisa terulang kembali. Atau di masa mendatang, perdebatan Capres jagoan anggota grup WhatsApp alumni atau keluarga bisa saja tersulut dan membuat kita tidak nyaman.