Mohon tunggu...
Giri Lumakto
Giri Lumakto Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Digital

Digital Ethicist | Pemerhati Pendidikan Literasi Digital, Teknologi, dan Budaya | Curriculum Developer for Tular Nalar from Google.org | K'ers of The Year 2018 | LPDP 2016 | STA Australia Awards 2019 | LinkedIn: girilumakto | Twitter: @lumaktonian | email: lumakto.giri@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Rekonsiliasi Rasa Polarisasi

24 April 2019   13:57 Diperbarui: 24 April 2019   16:12 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo patut kita ditunggu dan diapresiasi. Namun bagaimana jika nanti yang kita akan lihat malah polarisasi. Pemilu yang membelah publik menjadi kubu 01 dan 02 tidak akan luntur usai rekonsiliasi.

Kentalnya politik identitas. Gaduhnya linimasa media sosial dan efek penjara pola fikir ala post-truth. Akan berpotensi membuat jurang disparitas sosial dan gejolak kebencian selalu ada.

Walau kedua kubu saling berceloteh menggunakan akal sehat selama proses Pemilu berlangsung. Namun nyatanya dungu-mendungukan. Atau saling ejek dengan sebutan cebong atau kampret masih berlangsung.

Kentalnya politik identitas berupa keyakinan beragama sudah lama bergema di Pemilu Indonesia. Di Pemilu tahun 1955, PKI dan PNI selalu menuduh Masyumi hendak mendirikan negara Islam. Melalui kampanye terbuka dan surat kabar waktu itu, kampanye hitam menyudutkan Masyumi beredar di masyarakat.

Mundur ke Pemilu 2014, tuduhan-tuduhan tak berdasar tentang identitas agama juga bergaung. Melalui dua edisi tabloid Obor Rakyat, fitnah terhadap Jokowi sistematis beredar di banyak Ponpes di Jawa waktu itu. Pihak Kepolisian akhirnya melarang Obor Rakyat beredar dan Dewan Pers menyebut tabloid ini bukanlah produk jurnalistik.

Kembali di Pemilu 2019, identitas keagaaman dipolitisasi guna mendulang suara. Pengerahan massa pada berjilid-jilid aksi kuat menyimbolkan identitas keagamaan dan kampanye politik daripada aksi damai. 

Tokoh-tokoh agama yang sering dimunculkan, dikunjungi, dan diberikan panggung dilakukan kedua kubu Capres. Identitas agama mayoritas pun diperebutkan sekaligus dieksebisi sedemikian rupa di Pemilu 2019.  

Guna mendukung kentalnya identitas keagamaan saat Pemilu. Maka masing-masing simpatisan tiap kubu memperebutkan dominasi linimasa. Karena kedua kubu mesti meyakini bahwa moda kampanye dunia digital paling efektif, murah, sekaligus dahsyat dampaknya.

Ekses negatif kampanye digital mudah kita lihat. Misalnya penyebaran berita bohong yang begitu masif. Berita yang menyudutkan kedua pasang Capres ini tak kenal waktu. Bahkan tidak kenal siapa pembuatnya.

Ditambah portal berita digital yang (hiper)-partisan mengunggulkan salah satu pasang Capres. Tak jarang, mem-frame negatif Capres kubu lain. Berita yang dipotong, menonjolkan kalimat sensasional, dan tak jarang berisi disinformasi, menjadi konsumsi simpatisan.

Peran para politisi dengan akun sosmed-nya pun berperan mendorong kegaduhan yang terjadi. Baik itu politisi maupun timses, semua kabar yang menyudutkan Capres lawan diberitakan. Tapi tidak dibagikan jika ada berita yang mengorek sisi negatif Capres jagoan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun