Duka mendalam saya tulus haturkan kepada keluarga korban penembakan Christchurch, Selandia Baru (15/03/2019).Â
Sudah kita saksikan berulang kali. Lingkar kebencian atas dasar keyakinan atau etnisitas menebar teror publik. Apalagi saat sosial media mengamplifikasi kebrutalan para pelaku.Â
Sayang, banyak pengguna sosmed yang enggan bersimpati. Yang mungkin alasan awalnya mengikuti breaking news berita penembakan ini. Namun makin penasaran dengan video yang diduga berasal dari adegan penembakan pelaku teror.
Dan pada akhirnya turut menyebarkan konten kekerasan yang mereka lakukan. Mungkin dengan perasaan turut menginformasikan. Padahal yang terjadi dan dirasakan publik malah kebalikannya.
Pelaku penembakan di masjid Al Noor Christchurch, Selandia Baru sempat me-live streaming tindakan biadab mereka. Walau kini video live streaming pelaku sudah di-take down Facebook. Namun, screen record atau capture masih banyak beredar di internet.
Jangan pernah sebarkan manifesto digital para pelaku teror ini. Karena dengan begitu ada setidaknya kita:
- Ikut menyebarkan ketakutan atau teror yang pelaku lakukan
- Ikut serta mengabarkan jaringan teror lain bahwa pelaku dianggap berhasil
- Ikut membuat keluarga korban teror semakin terpuruk dalam kesedihan
Sehingga, yang sebaiknya kita lakukan adalah:
- Tidak turut menyebarkan konten kekerasan pelaku teror tersebut
- Walau dirasa menggugah emosi keyakinan, tapi fikirkan dampak untuk publik
- Laporkan ke platform sosmed konten tersebut.
Menurut perundangan di Indonesia. Penyebar konten kekerasan dianggap melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008. Pada pasal 45B jelas diatur:
"Setiap orang yang dengan sengaja atau tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi yang dimaksud pasal 29 dipidana dengan pidana penjara 4 tahun dan/atau denda paling banyak 750.000.000 Rupiah."
Jelas bahwa video yang disiarkan live oleh pelaku penembakan Christchurch mengandung unsur kekerasan. Adegan brutal yang disiarkan pun jika dilihat sendiri atau publik turut menimbulkan ketakutan.
Saya fikir, jangan pernah memvalidasi semua tindakan brutal atas nama keyakinan/etnis sebagai kebenaran. Karena tak jarang, apa yang digaduhkan netizen atas kasus ini adalah aksi balas dendam atas kebiadaban lain.
Sehingga, publik pun dikaburkan dengan opini sesat yang menganggap aksi biadab adalah aksi balas dendam. Namun kita sebagai publik yang berakal sehat. Tentu semua tindakan tidak berkeprimanusiaan ini bukan sebuah pembenaran atas keyakinan/etnis.
Karena aksi-aksi dahulu dan yang terjadi baru saja adalah lingkar kebencian. Sebuah siklus yang bukan membuat kemanusiaan maju dan beradab. Namun memundurkan kemanusiaan kita pada masa-masa perang dan kebodohan dahulu kala. Â Â
Maka, turut menyebarkan konten digital tindak biadab mereka selain menebar ketakutan. Juga menjerumuskan kita pada opini sesat. Dan tak jarang menyulut aksi balas dendam lain yang mungkin lebih mengerikan.
Salam,
Solo, 15 Maret 2019 |Â 06:02 pm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H