Absurdnya makna "kebebasan berekspresi" di sosial media.
Saat opini dan argumen pada linimasa tak lain adalah kerja algoritma. Kita pun terkurung cara berfikir ala confirmation bias. Sebuah perspektif yang cenderung sesuai harapan dan memfortifikasi keyakinan kita sebelumnya.
Belum lagi trending tagar dan posting viral yang biasanya jadi nomor satu di linimasa. Trending menggiring kita untuk percaya kalau orang-orang di sekitar kita berbicara topik yang serupa. Tak jarang posting viral dengan ribuan like, komentar dan share kadang menyita perhatian kita.
Tapi bukankah kita bebas menuliskan komentar? Namun esensi komentar seperti apa yang sebenarnya kita inginkan?Â
Sedang algoritma sosial media menyekap kita pada pra-kondisi dengan perspektif auto-indoktrinasi.
Sehingga, alih-alih memberi komentar atau gagasan baru dan berbeda. Kita hanya mereplikasi kandungan emosi dan sensasi pada cara pandang diri kita pada sebuah isu trend. Komentar yang kita bubuhkan hanya ilusi dari kebebasan berekspresi. Komentar kita mewakili mayoritas yang kita percaya mayoritas.Â
Ketika platform sosial media kemaruk mencari users'Â engagement. Maka tak ada pilihan lain selain memberi cara pandang di linimasa yang homogen. Dengan mengumpulkan orang-orang yang sepemikiran, users pun lebih lama berinteraksi di platform.
Ketika perspektif serupa ini dikumpulkan dengan hitung-hitungan algoritma sosmed. Tercipta kegaduhan, keterlibatan, bahkan tak jarang kepopuleran perspektif homogen yang memicu trending.Â
Kumpulan akun ini menjadi suara-suara gaduh serupa yang sering dimispersepsi menjadi suara mayoritas. Dan tak jarang dilabeli sebagai kebenaran.
Misalnya, tak heran perspektif kita pada salah satu pasangan Capres akan terus menguat. Bahkan cenderung fanatik atau bahkan "gila". Karena probabilitas munculnya posting dari Capres lawan di linimasa kita hampir nisbi.Â
Sehingga pada linimasa macam ini tercipta ruang-ruang yang aman dan non-konflik. Dan dalam dekapan dan kondisi rasa aman ini. Kita disuguhkan ilusi kebebasan berekspresi.